Selasa, 12 Juni 2018

Ancaman Serta Prospek Kawasan Mangrove Pantai Gumumae dan Desa Sesar



Alam sebagai bagian tak terpisahkan dari manusia memiliki berbagai macam potensi baik secara ekonomi maupun ekologi. Berbagai macam ekosistem yang hidup di dalamnya selain menjadi sumber bahan pangan, bahan papan (material bangunan) juga menyimpan potensi wisata alam (ekowisata). Sayangnya, kurangnya pemahaman dan kesadaran, mengakibatkan masyarakat maupun para pengambil kebijakan sering abai dalam pemanfaatan potensi yang ada, alih-alih dimanfaatkan dalam rangka peningkatan taraf hidup masyarakat dan pendapatan daerah, justeru sebaliknya alam dirusak oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab akibat lemahnya pengawasan dan penegakan hukum yang pada akhirnya akan berdampak pada hilangnya tumpuan ekonomi serta meningkatnya resiko saat terjadi bencana alam.
Salah satu potensi alam yang dapat dimanfaatkan dalam meningkatkan ekonomi masyarakat yaitu kawasan hutan mangrove. keberadaan hutan mangrove mampu menyediakan nutrient yang bermanfaat bagi biota yang hidup di dalamnya, bentuk akar mangrove yang khas menyerupai cakar menjadi daerah pemijahan (spawning ground) yang baik bagi biota laut. Selain itu, hutan mangrove juga dapat meminimalisir resiko bencana alam seperti abrasi pantai, tsunami serta terpaan angin puting beliung. Akar-akar mangrove yang kuat mampu menahan hempasan gelombang dari laut serta menjadi perangkap partikel material yang menyebabkan terjadinya sedimentasi secara terus menerus. Begitupun saat terjadi gelombang tsunami, akar-akar mangrove mampu menahan laju gelombang yang mengalir dari laut saat terjadinya tsunami sehingga dapat meminimalisir kerusakan yang terjadi, bahkan meminimalisir jatuhnya korban jiwa.
Di daerah Kabupaten Seram Bagian Timur, keberadaan kawasan hutan mangrove dapat ditemukan antara lain di Pulau Akat, Kecamatan Tutuk Tolu dan di pesisir Desa Sesar, Kecamatan Bula. Keberadaan hutan mangrove tersebut menjanjikan potensi ekonomi yang baik jika dimanfaatkan secara maksimal. Namun selama ini keberadaan hutan mangrove baik di pesisir Desa Sesar maupun di Pulau Akat belum mampu dimaksimalkan, baik sebagai destinasi wisata maupun sebagai kawasan konservasi.
Icon Pantai Gumumae yang menjadi Spot favorit pengunjung untuk melakukan pengambilan gambar


Kondisi Kawasan Mangrove Pantai Gumumae (Tanjung Sesar).
Keberadaan kawasan Hutan Mangrove di Pantai Gumumae (Tanjung Sesar) beberapa tahun yang lalu dilengkapi dengan jembatan berbahan kayu yang mengitari kawasan mangrove. Adanya fasilitas tersebut mampu menarik perhatian para pengunjung untuk datang menikmati suasana alam di sekitar kawasan hutan mangrove. Namun, saat ini jembatan tersebut telah mengalami kerusakan total sehingga tidak bisa lagi digunakan. Hal ini tentu berdampak pada menurunnya daya tarik Pantai Gumumae sebagai objek wisata unggulan di Kabupaten Seram Bagian Timur.
Di samping kawasan hutan mangrove di Pantai Gumumae, terdapat juga kawasan mangrove di pesisir Desa Sesar, tepatnya di kawasan Kampung Nelayan, Sesar. Namun dalam beberapa tahun terakhir laju penebangan terhadap mangrove cukup tinggi. hal ini dikarenakan berkembangnya pemukiman penduduk serta tidak maksimalnya pengawasan oleh aparat terkait. Penebangan mangrove tentu berdampak pada hilangnya daerah pemijahan (Spawning Ground) serta daerah pembesaran (nursery ground) bagi biota laut serta habitat bagi hewan lainnya sehingga menjadi sumber keanekaragaman hayati (Biodiversity). Kerusakan hutan mangrove di Desa Sesar tentu juga meningkatkan resiko saat terjadinya bencana alam. Fungsi akar-akar mangrove yang dapat menjadi perangkap sedimen sehingga mencegah terjadinya abrasi pantai telah dirusak demi kebutuhan lahan pemukiman. Selain itu, ancaman kerusakan akibat tsunami juga semakin tinggi dengan ditiadakannya mangrove seagai penahan laju ombak dari laut. terpaan angin puting beliung juga yang harusnya bisa dihalangi oleh mangrove, namun dengan penebangan maka resiko kerusakan perumahan warga akibat angin putting beliung semakin tinggi. Hal ini pernah di rasakan oleh masayarakat Graha Indah di Balikpapan yang harus menjadi korban angin puting beliung. Akibatnya, sebanyak 300 rumah warga mengalami kerusakan.
Penebangan mangrove di pesisir Desa Sesar selain akibat kebutuhan pemukiman, juga untuk keperluan pembangunan jalan yang menghubungkan jalan utama ke pemukiman nelayan. Sering kali pembangunan mengabaikan kepentingan ekologi. Tidak tersedianya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) mengakibatkan pembangunan yang mendahulukan sektor tertentu dan mengabaikan sektor yang lain. Padahal dengan adanya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dapat menjaga keseimbangan dan keserasian wilayah antar sektor sehingga tercipta keharmonisan dengan alam guna meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat yang berdampak pada terwujudnya integritas nasional.
Penebangan mangrove untuk pemukiman warga di Kampung Nelayan, Desa Sesar,
Kecamatan Bula, Kabupaten Seram Bagian Timur-Maluku


Potensi ekonomi dan ekowisata  
Sebuah Perbandingan
Keberadaan hutan mangrove jika diberdayakan dengan baik dapat menjadi tempat rekreasi, lokasi penelitian, kawasan konservasi serta sumber pemasukan ekonomi baik bagi masyarakat maupun bagi keuangan daerah. Sebagai contohnya Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan (KKMB) Kota Tarakan yang saat ini telah menjadi ikon wisata Kota Tarakan dengan beragam fungsi yakni pendidikan, hiburan serta Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Pintu masuk Kawasan Konservasi Hutan Mangrove dan Bekantan 

Objek wisata seluas 8,8 ha yang mulai dikelola sejak tahun 2001 ini juga menjadi rumah bagi puluhan ekor Bekantan (Nasalis larvatus)-sejenis kera yang memiliki hidung panjang- yang mulai dikembangkan di kawasan konservasi ini sejak tahun 2003. Kera-kera tersebut selain menjadi maskot daripada kawasan wisata Ancol, juga merupakan maskot wisata Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan (KKMB) Kota Tarakan. Di tahun tersebut Dinas Pariwisata Kota Tarakan selaku pengelola mengembangbiakkan 6 ekor. Hingga saat ini jumlah Bekantan telah mencapa 40 ekor. Selain menyediakan hewan langka seperti Bekantan, pemerintah Kota Tarakan juga menyediakan perpustakaan, pos istirahat dan gazebo. Aparat pemerintah setempat dalam membangun kawasan wisata mangrove juga melibatkan pihak PERTAMINA sehingga bisa menggunakan dana CSR (Corporate Social Responsibility) guna membangun berbagai fasilitas yang dibutuhkan.
Keberadaan fasilitas penunjang dikawasan wisata tersebut cukup memadai serta terawat dengan baik, letak kawasan wisata mangrove Kota Tarakan juga sangat strategis karena letaknya yang berdekatan dengan pusat kota sehingga mudah dijangkau oleh masyarakat baik menggunakan angkutan pribadi maupun angkutan umum. Hal ini yang menjadi salah satu keunggulan Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan (KKMB) Kota Tarakan.
Suasana Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan Kota Tarakan

Berdasarkan hasil penelitian tim peneliti dari Universitas Borneo-Tarakan diketahui bahwa dengan adanya kawasan wisata konservasi mangrove di Kota Tarakan tersebut mampu memberikan efek ekonomi kepada masyarakat (multiplier effect) sehingga dari 90 orang yang diwawancarai 20% memiliki pendapatan di atas Rp. 2.000.000/ bulan, 13,33% memiliki pendapatan berkisar Rp. 1.500.000-2.000.000/bulan, 37,78% memiliki penghasilan sebesar Rp. 1.000.000-1.500.000/bulan, 21,11% memiliki penghasilan sebesar Rp. 500.000-1.000.000/bulan dan sisanya, yakni 7,78% berpenghasilan kurang dari 500.000.

Prospek Hutan Mangrove Pantai Gumumae
Jika kita hendak membandingkan karakteristik hutan mangrove, Kota Tarakan dan hutan mangrove Pantai Gumumae maka bisa dikatakan pantai Gumumae memiliki karakteristik yang khas sehingga menjadi keunggulan tersendiri. Keunggulannya yakni selain topografi Pantai Gumumae berupa lumpur, khususnya di bagian dalam yang menjadi tempat mangrove tumbuh, juga merupakan pantai berpasir putih di bagian luar yang menghadap laut lepas dimana ratusan pohon cemara laut (Casuarina equisetifolia)  tumbuh, hal ini tentu menjadi keunikan tersendiri bagi Pantai gumumae. Selain itu, keberadaan berbagai macam reptil seperti buaya dan ular bisa dijadikan sebagai objek pengamatan para peneliti.
Hamparan pohon cemara laut (Casuarina equisetifolia) di Kawasan Wisata Pantai Gumumae

Letak pantai Gumumae yang berdekatan dengan pusat Kota Bula juga menjadi keunggulan tersendiri untuk dikembangkan karena mudah dijangkau oleh masyarakat. Namun, yang menjadi tugas daripada pemerintah setempat agar memastikan adanya fasilitas penunjang kawasan wisata mangrove seperti jembatan kayu yang akan digunakan oleh pengunjung masuk ke dalam area hutan mangrove, MCK, Musholla, fasilitas penerangan, serta jalan setapak dipinggir pantai yang nyaman sehingga momen liburan panjang (seperti lebaran saat ini hehe) masyarakat tak mesti jauh-jauh ke memilih tempat berekreasi.
Tantangan berikutnya adalah bagaimana merubah pola pembangunan pemukiman yang tidak lagi mengorbankan ekositem mangrove agar penebangan terhadap mangrove bisa diminimalisir. Terkait mitigasi bencana, terjaganya kawasan hutan mangrove dapat melindungi pemukiman warga dari ancaman abrasi pantai, tsunami, rembesan air laut, terpaan angin puting beliung. Selain itu, dengan tingginya kunjungan wisatawan di kawasan wisata mangrove juga akan menciptakan efek ekonomi yang pada akhirnya akan meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar. Para pengrajin bisa menjajahkan hasil kerajinannya, para penjual makanan dan minuman disediakan bangunan sewa untuk menjajakan makanan dan minumannya, keberadaan warung makan akan meningkatkan permintaan sayur, ikan, beras serta kebutuhan lainnya. tingginya permintaan ikan akan meningkatkan pendapatan nelayan, tingginya aktifitas nelayan akan meningkatkan kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan begitu seterusnya. begitulah efek ekonomi yang akan tercipta. Tentu pembangunan kawasan wisata hutan mangrove ini tidak hanya dibebankan kepada pemerintah, namun dapat juga memanfaatkan perusahaan-perusahan tambang yang beroperasi di Kota Bula melalui mekanisme CSR (Corporate Social responsibilities).

Tulisan di atas mengulas pamnfaatan potensi satu objek wisata. jika terealisasi maka betapa banyak masyarakat yang terangkat dari lembah kemiskinan. bagaimana jika semua objek wisata di bumi Ita Wotu Nusa ini dapat dimaksimalkan? tentu lebih banyak lagi masyarakat yang meningkat taraf hidupnya dan terangkat dari jurang kemiskinan.
Semoga!

12/06/18