Sabtu, 26 Maret 2016

BUDAYA LOKAL DITENGAH PUSARAN ARUS GLOBALISASI


Assalamualaikum & salam perjuangan sang calon revolusioner zaman...
Izinkanlah kutuangkan sedikit kegelisahanku padamu, untuk sekedar membuatku lega karena telah meyampaikannya padamu tentang sikapku terhadap zaman yg semakin lama semakin mengkhawatirkan. Saudaraku sebangsa dan setanah air...
Bangsa Indonesia kini telah terseret dalam kencangnya arus zaman yang arahnya kian sulit untuk dikendalikan. Ditengah kencangnya arus zaman itu bangsa ini ternyata belum mempunyai benteng yang kokoh untuk memproteksi berbagai dampak negatife yang akan terjadi akibat dampak globalisasi yangg sarat dengan sejumlah kepentingan barat sehingga orang-orang mengatakan bahwa jika terjadi globalisasi maka sudah dipastikan bahwa agenda westernisasi (Membarat-baratkan) suatu negara pun menjadi agenda wajib karena westernisasi adalah substansi dari globalisasi itu sendiri.
Ideologi bangsa yg belum dijiwai kian memperparah nasib anak negeri sebagai target  dari program globalisasi dan westernisasi tersebut. Terlalu lama negara ini berjibaku dalam perang ideologi yg akhirnya menggiring kita pada kondisi yg saya sebut “Persimpangan Peradaban”. Masyarakat Indonesia yang mendeklarasikan dirinya sebagai pengusung pancasila pun belum mampu menjadikan pancasila sebagai nafas kehidupannya yg mampu menjawab semua permasalahan dalam berbangsa dan bernegara. Sementara itu sebagian rakyat di negeri ini menganggap bahwa Ideologi sosialisme-lah yang mampu mengantarkan bangsa Indonesia ke gerbang kemerdekaan, yaitu merdeka dari segala bentuk penjajahan, baik dalam segi sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, politik dan berbagai segi kehidupan lainnya. Di sisi lain ada para kaum kapitalis (kaum pengusaha besar) yg asyik dalam kehidupannya yg penuh dengan sistem kapitalistik yg sudah jelas menghisap darah rakyat dengan monopoli ekonominya.
Kebudayaan sebagai Identitas.
Modernisasi sebagai bagian dari instrument globalisasi telah menghantarkan manusia untuk melakukan inovasi di segala bidang demi kemudahan hidupnya, tak terkecuali inovasi di bidang informasi dan teknologi (IT). Namun perlu disadari bahwa kemajuan teknologi informasi yg telah dicapai saat ini bagaikan “bola liar”, sehingga jika tidak dikendalikan dengan baik maka akan berdampak buruk bagi kehidupan umat manusia baik sekarang maupun di masa akan datang. Tapi sayang sampai hari ini kemajuan IT itu sendiri secara global telah memakan korban yg makin lama kian bertambah, tak terkecuali di Indonesia sendiri. Untuk itu, diperlukan suatu instrument yang konstruktif agar mampu menghadapi kencangnya hempasan gelombang kemajuan IT tsb.Indonesia secara historis memiliki peradaban yg cukup maju di mata dunia sehingga seharusnya mampu menjawab permasalahan ini. Peradaban yg telah diwariskan oleh nenek moyang kita dari kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Mataram, Gowa, kesultanan Ternate & Tidore dll., seharusnya dijadikan senjata ampuh yg mampu menyelamatkan anak bangsa dari efek radikal kemajuan teknologi dan Informasi (IT) yang terus memperkenalkan budaya barat yang kebanyakan bersifat destruktif. Opini publik terus di giring pada cara hidup yangg tidak lagi sesuai dengan falsafah hidup leluhur kita yg hidup pada zaman kerajaan dan kesultanan. Warisan budaya leluhur negeri ini yg lebih memanusiakan manusia kini perlahan tapi pasti telah mulai ditinggalkan. Budaya sopan santun, Sikap Jujur dan kesatria, kehidupan yg sederhana, berjiwa sosial yg tinggi serta berbagai norma-norma lainnya kini telah menjadi barang langka yg sulit ditemukan dalam kehidupan bermasyarakat dewasa ini.
Konteks SBT
Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) yg merupakan bagian dari elemen bangsa harusnya mampu merespon gejolak sosial yg terjadi dewasa ini. Sebagai daerah yangg kental dengan adat harusnya telah mempersiapkan diri dalam manghadapi serangan budaya destruktif yg setiap saat dapat mengancam kebudayaan anak negeri. Kearifan lokal masyarakat yg ada tetap di jaga dan dilestarikan sehingga selain melakukan langkah proteksi demi kelangsungan hidup ke depan, juga merupakan bentuk usaha untuk mempertahankan identitas sebagai masyarakat yang berbudaya. Tari-tarian daerah, Upacara adat, nyanyian rakyat, kerajinan rakyat, pakaian adat serta berbagai aset budaya lainnya seharusnya dipandang dengan sudut pandang bercorak filosofis yang mengajarkan tentang nilai-nilai humanisme (kemanusiaan) bukan sekedar barang-barang serta gerakan-gerakan yg tanpa makna. Sehingga masyarakat menjadi tersadarkan tentang pentingnya menjaga nilai-nilai humanisme dalam melakukan interaksi sosial seperti apa yg telah di lakukan oleh Leluhur di masa lalu. Penanaman Ideologi yang berbasis kultural sejauh ini merupakan metode yang cukup efektif untuk melakukan penyadaran dalam melakukan suatu perubahan, perubahan ke arah masyarakat yang berbudaya luhur serta sadar akan identitasnya sebagai masyarakat adat, sehingga nantinya tidak teralalienasi (terasingkan) dari kebudayaan sendiri yg lebih memanusiakan manusia. Perencanaan yg tersistematis perlu dilakukan untuk mencapai harapan-harapan itu sehingga upaya pelestarian kearifan masyarakat lokal ini dapat dilestarikan ke pada seluruh generasi yg ada. Upaya memperkenalkan aset budaya ini perlu ditanamkan sejak dini mulai dari jenjang pendidikan yang paling rendah sampai ke tingkat Perguruan Tinggi. Selain itu, upaya melestarikan kearifan masyarakat lokal juga berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat kecil karena menjadi daya tarik bagi wisatawan baik lokal maupun manca negara sehingga langkah ini merupakan sebuah alternatife dalam menjawab permasalahan daerah dalam berbagai segi seperti ekonomi, sosial (pengangguran), budaya, dll. Untuk itu diperlukan kesadaran bersama untuk merealisasikan apa yang cita-cita bersama tentang penyelamatan generasi dan upaya pembangunan ekonomi, sosial, budaya di bumi Ita Wotu Nusa yg kita cintai ini. Semoga keterbatasan pemikiranku ini bermanfaat bagi pembacanya.Wassalam & Salam Perjuangan…

PANCASILA BUKAN SLOGAN BELAKA

Sampai hari ini penyakit bangsa Indonesia masih sama sedari dulu; tak sadar kesaktian pancasila. Padahal Pancasila telah lebih dari 70 tahun mempersatukan anak bangsa yg jumlah suku dan bahasanya paling beragam di dunia ini. Lihatlah bagaimana timur tengah hari ini..! Mereka hidup dengan satu bahasa namun mereka berperang menggunakan bahasa yg sama, mereka bercumbu rayu dengan kekasihnya menggunakan bahasa yg sama namun mereka mengeluarkan sumpah serapah menggunakan bahasa yg sama pula.
Tapi tengoklah negeri ini, negeri yang memiliki berbagai warna bahasa dan budaya, dari aksen bahasa yg lugas, tegas dan pedas, sampai yang ayu, mendayu bahkan mengharu biru. Dari yang pakai koteka sampai yang menggunakan selendang dan menutup kepala.
Tapi lebih dari itu semua pancasila kita ini adalah ajaran tentang fitrah kemanusiaan yang mengajarkan kepemimpinan berdasarkan kemanusiaan yg adil dan beradab agar terwujud persatuan dan kesatuan yang berkeTuhanan yg Maha Esa. Pertanyaannya kenapa negara di timur jauh sana sering berperang atas nama agama? Mereka membunuh warga tak berdosa saat bekas sujud masih memerah di jidat mereka, saat lilin mereka masih menyala di altar pemujaan, mereka melakukan genosida saat bau dupa masih menyelimuti tubuh mereka...!!!
Itu karena yang mereka ingin capai dalam keberagamaan mereka hanyalah ritual saja, bukan nilai paling sakral dalam sebuah aktifitas spiritual. Mereka hanya mengucapkan kata dalam lantunan do'a tanpa memahami makna.
Namun Pancasila kita bukan slogan belaka...
Ajaran pancasila kita adalah apa yg dicita-citakan Sidharta Gautama, Lao Tse, Musa as., Isa as., sampai Muhammad SAW. Karena kita beragama bukan sebatas puji-puja, tak sedangkal pada upacara ritual semata tapi menancap hingga akar makna terdalam ajaran semesta.
Salam Peradaban...!!
Makassar, 26-3-2016
~.Abdul A. Siolimbona.~

Rabu, 16 Maret 2016

LENTERA AQAL

Manusia adalah makhluk yang multidimensi, Memiliki berbagai kecenderungan dalam dirinya. Terkadang ia bergerak mengikuti kecenderungan egonya dan tak jarang pula yang mengikuti kehendak aqalnya.
Layaknya bumi dan langit yang menjadi simbol Alam, maka seperti itulah manusia. Bumi di saat malam menjadi gelap gulita, maka muncullah bulan untuk menjadi petunjuk bagi penghuni bumi baik di darat maupun di laut. Di saat siang berganti matahari datang untuk menjadi penerang bagi setiap jengkal tanah yang disinarinya, memberikan energi dan kehidupan untuk semua makhluk di muka bumi.
Begitupun aqal sebagai simbol langit pada diri manusia yang menjadi penuntun dalam setiap langkah hidupnya, sedangkan egonya sebagai simbol bumi yang melambangkan kegelapan. Selama manusia menjadikan aqalnya sebagai penerang maka ia tak akan pernah tersesat meski berpuluh-puluh tahun ia menapaki jalan hidupnya, sebaliknya jika manusia hanya memperturutkan egonya maka ia akan tersesat atau bahkan tidak mengalami kemajuan dalam proses hidupnya sehingga tak jarang kita mendapati seseorang akan tetap berada pada kondisi jiwanya seperti berpuluh-puluh tahun yang lalu saat ia masih kecil atau belum ber-aqil baligh, sehingga jiwanya masih kekanak-kanakan dan cenderung melakukan sesuatu diluar aqal sehat.
Manusia-manusia yang menjadikan aqal sebagai penuntun hidupnya kualitas jiwanya akan semakin meningkat hari demi hari sehingga terkadang kualitas jiwanya melebihi kualitas fisiknya, fisiknya masih muda tapi jiwanya sudah matang dan hidup dalam kebijaksanaan. Sedangkan manusia-manusia yang menjadikan egonya sebagai panglimanya meskipun fisiknya sudah tua tapi jiwanya masih kerdil, sekali lagi masih kekanak-kanakan. Karena kualitas seseorang diukur dari kualitas jiwanya dan kualitas jiwa berbanding lurus dengan kualitas aqal maka semakin kuat nyala lentera aqalnya semakin berkualitas hidupnya.
Maka tak heran kita disuruh menuntut ilmu tanpa henti hingga kita masuk ke liang lahat. Agar kita mampu menerangi dunia dengan cahaya aqal.

Makassar, 02-02-2016

~.A. A. Siolimbona.~

MALINO, TUHAN DAN SEBUAH RENUNGAN

Jika Belanda memiliki Denhaag sebagai kota perjanjian damai, maka Gowa mempunyai kota damai yang bernama Malino. Kota ini menjadi saksi bisu pembicaraan damai antara dua kelompok yang pernah bertikai di Maluku beberapa tahun yang lalu.
Kota berjuluk kota kembang ini memang memiliki panorama dan kondisi alam yang sangat cocok untuk meredakan ketegangan yang menyulut api pertikaian. Itulah yang membuat saya kagum pada Tuhan. Dia menjadikan beberapa tempat memiliki kondisi geografis yang berbeda-beda yang menurut kesimpulan Ibnu Khaldun dalam bukunya "Muqaddimah" memberikan pengaruh terhadap watak dan karakter penduduknya.
Pada wilayah yang letak geografisnya pada daerah pesisir, dengan suhu yang panas akan mempengaruhi watak dari masyarakat yang berdomisili pada wilayah tersebut sehingga karakter masyarakatnya cenderung tempramen dan suka bersenang-senang. Begitupun sebaliknya pada wilayah yang iklimnya dingin watak masyarakatnya cenderung lebih tenang.
Namun itu hanya faktor X. Masih ada faktor lain yang yang letaknyapada internal seseorang dalam mempengaruhi watak dan perilakunya yaitu aqal yang berfungsi sebagai alat dalam mengukur baik-buruknya suatu tindakan. Aqal inilah yang akan dijadikan nahkoda dalam mengarungi bahtera kehidupan.
Faktor Internal berupa Aqal ith akan menjadi dasar seseorang akan dihukum di akhirat atau tidak sehingga di hari akhir nanti seseorang tidak mengelak dengan mengatakan "Tuhan jangan siksa aku karena Engkaulah yang menciptakan dan menempatkan aku di daerah yang membuat aku menjadi beringas ketika hidup di bumi". Tuhan pun menjawab "memangnya Aqalmu itu tidak engkau gunakan? Atau engkau menganggapnya tidak boleh digunakan? Lalu untuk apa Aku menciptakannya?".
Tuhan itu selalu 'genius' dalam menyusun skenario. Dia membuat perbedaan tempat agar terjadi dinamika hidup manusia dengan berbagai karakternya, Namun tak lupa dia menjadikan Aqal untuk difungsikan sebagai alat pemersatu semua manusia ciptaanNya. Maka perjanjian Malino I & II adalah upaya mengajak orang-orang yang bertikai, untuk kembali menghargai hak hidup orang lain, mengajak kembali kepada tuntunan aqal bahwa berbeda tidak mesti saling membunuh.
Engkau seperti seperti dilepas di tengah hutan belantara, lalu Tuhan memberikan anda kompas sebagai alat untuk kembali ke rumah anda. Maka yang tidak menggunakannya adalah seburuk-buruknya Manusia.
Malino 11-02-2016
~. Abdul Ajiz Siolimbona .~

BUMI YANG DILIPAT

Live is process, mungkin kata itu tepat dalam menggambarkan proses hidup yang berjalan normal, karena sebuah proses tentu sangat mempengaruhi hasil yang nanti akan di dapat.
Di era yang serba modern saat ini kita sepertinya sudah sulit menemukan orang-orang normal yang berani berdarah-darah berjuang untuk mencapai sebuah hasil yang memuaskan. Kita hidup dimana teknologi memudahkan segala sesuatu. hal itu turut mempengaruhi cara berpikir dan bertindak. kebanyakan manusia telah dibonsai oleh atribut-atribut keserakahan sehingga cenderung mengorbankan nilai dan prinsip hidup dalam mencapai segala keinginannya.
Aku adalah salah satu anak manusia yang membenci hal itu. Bagiku lebih baik berdarah-darah dalam usaha menaiki anak tangga kehidupan sehingga terbiasa menahan terpaan topan diujung perjalanan daripada mengkhianati proses yang hanya akan membuatku mudah tumbang ketika badai kehidupan menerjang.
Lika-liku kehidupan memang menyajikan berbagai rintangan, namun aku masih percaya pada kalimat penuh makna bahwa "hasil tidak pernah mengkhianati sebuah proses". Layaknya sebuah rumah yang dibangun dengan penuh kesabaran untuk menghasilkan pondasi yang kokoh dan tembok yang kuat maka setiap topan pasti akan siap dihadang.
Dunia ini butuh pejuang untuk memahami seni dalam menaklukkan hidup. dunia ini butuh renungan panjang dan usaha tanpa batas untuk melalui setiap kesulitannya. Dunia ini bukan bukan kertas yang dilipat sehingga tak ada jalan pintas yang membawamu pada puncak kesuksesan tanpa melalui anak tangga kehidupan.
Hidup yang tak direnungkan tak layak dijalani (Aristoteles)
Makassar, 13 Februari 2016
~. Abdul Ajiz Siolimbona .~

ANOMALI KEPEMIMPINAN

Kita seakan sengaja dikaburkan tentang konsep kepemimpinan agar mudah dipolitisir sesuai kehendak pihak yang ambisius. Kita sejak masih sekolah dasar hingga masuk bangku kuliah rasanya tak pernah diajarkan konsep kepemimpinan secara utuh, baik dalam hubungannya yang vertikal (manusia kepada Tuhan) ataupun yang horizontal (manusia kepada manusia).
Jika kedua hal itu disalahpahami karena disalah ajarkan maka beginilah nasib rakyat yang terombang-ambing ditelan badai argumen para politisi yang asik berselancar di atas ombak kebodohannya.
Jika kepemimpinan di negeri ini menyangkut kepemimpinan vertikal maka saya yakin tidak semua presiden sebelumnya layak menjadi pemimpin, tapi jika hanya kepemimpinan horizontal maka silahkan tanyakan kepada sejarah seberapa besar kemajuan telah mereka capai di tiap periode kepemimpinannya?!
Sekarang rasanya menjadi janggal ketika para manusia bersorban di negeri ini menyatakan bahwa dilarang memilih pemimpin (gubernur) non muslim di saat sejarah telah mencatat bahwa gubernur Jakarta yang ke 7 adalah seorang katholik dan saat itu tak ada suara sumbang untuk menolak kepemimpinan sang umat katholik tsb atas dasar perbedaan keyakinan. Dan ini kemunafikan terbesar dalam sejarah perpolitikan di Indonesia.
Bahkan mereka seperti merasa hampir punah disaat anomali kepemimpinan di Indonesia mendapatkan moment terbaiknya. Setelah era orde lama negara ini sekian lama dipimpin oleh empat orang pria dan seorang wanita yang semuanya berperawakan gemuk, namun kini setelah hadir pria kurus nan ceking itu mereka malah mencaci maki setiap senti langkah keputusannya.
Mereka yang terbiasa hidup dalam cumbu rayu para pemimpin dengan retorika yang meninabobokan mereka di atas pusara kejujuran kini seolah hampir mati dengan bahasa yang lugas, tegas, dan berasa terlampau pedas bagi pejabat berhati hewan buas namun berbulu hewan unggas.
Seakan-akan mereka lupa dengan sosok Bung Karno yang kata-katanya pun tak kalah keras jika sudah menyangkut harkat dan martabat rakyat yang tertindas, hingga Amerika pun Ia libas.
Maka tetaplah was-was agar dirimu tetap menjadi waras, karena hidup ini layaknya di laut lepas. Yang tak pandai membaca kompas, kan terhempas gelombang hingga tak berbekas


~. Abdul A. Siolimbona.~

Senin, 07 Maret 2016

NOTHING is USELESS

Segala sesuatu tidak ada yang diciptakan sia-sia. Segala entitas di muka bumi ini sejatinya keberadaannya memiliki maksud dan tujuan tertentu, bahkan sebiji gandum yang jatuh di tengah pematang sawah telah siap dimakan oleh makhluk pemakan biji-bijian yang hidup disekitar sawah tersebut.
"Tuhan tidak sedang bermain dadu", itulah kalimat yang sering dipakai sebagai antitesis terhadap teori "kebetulan" pada proses penciptaan Alam Semesta. Sehingga berdasarkan Teori ini segala sesuatu sudah diskenariokan, sudah disetting, sudah diatur.
Sesungguhnya upaya pengesahan LGBT adalah sikap yang menunjukkan masih adanya "fallacy" yang dialami oleh para 'Ilmuan Barat'. Mereka masih mabuk oleh Teori 'Bigbang' yang mengajarkan mereka bahwa bumi ada karena tabrakan benda-benda angkasa secara kebetulan, sehingga hal inilah yang membuat mereka keukeuh bahwa apa yang ada di alam ini bisa diutak-atik sekehendak hati, selanjutnya pada ranah sosiologis mereka menganggap "penyimpangan sex", " adalah fenomena yang sama sekali tidak memiliki dampak apa-apa terhadap kehidupan manusia di masa yang akan datang.
Padahal manusia dengan segala organ yang dimiliki terdapat kebutuhan antara satu jenis kelamin dengan jenis kelamin yang lain. Sel ovum membutuhkan sel telur untuk dibuahi. Rahim diberikan karena kebutuhan perkembangan janin, begitupun payudara yang menjadi sumber makanan bagi sang calon anak. Beberapa hal yang dimilik perempuan tersebut tidak dimilik oleh laki-laki, namun lelaki diberikan segenap kelebihan secara fisik agar bisa memberikan perlindungan terhadap perempuan dari gangguan keamanan demi keberlanjutan kehidupan janin di dalam rahim.
Secara psikologis sifat-sifat maskulin pada lelaki butuh penyeimbang yakni sifat-sifat feminim yang ada pada perempuan. Tuhan mendesain seperti itu agar terjalin rasa saling membutuhkan dan kemudian terjadi keseimbangan di muka bumi, dalam ajaran tao, jika terjadi keseimbangan antara yin dan yan akan terwujudlah Tao (keadilan).
Mewabahnya LGBT jelas akan mengancam umat manusia. Angka kelahiran akan menurun drastis sementara di sisi lain peperangan terus berkecamuk. Wabah penyakit terus meningkat sementara kelahiran menurun akibat sperma sudah bukan lagi menemukan rahim tapi anus, tempat feses akan keluar. Bahkan ada yang tidak bisa menghasilkan sperma untuk membuahi sel telur karena hubungan biologis bukan melibatkan Tono dan Tini tapi Tini dan Tiwi.
Poligami yang menjaga keberlanjutan regenerasi umat manusia dikecam, namun penyimpangan seksual dikampanyekan. Tanya kenapa?

Malino, 16-02-2016

.~Abdul A. Siolimbona.~

GENERASI SAKIT-SAKITAN JILID II

Sore itu matahari sepertinya sudah tak tahan tuk kembali ke peraduannya, langit menyembulkan rona merahnya, bagaikan sesosok wanita yang tersipu malu oleh tatapan pria yang baru dikenalnya.
seorang lelaki paruh baya masih berpacu dengan waktu, menyusuri setiap sudut tanah dengan ditemani dua ekor sapi yang membantunya membajak satu-satunya ladang sawah warisan orang tua. sepertinya ia tak memperdulikan deru mesin pabrik yang berdiri sombong tak jauh dari sungai yang membatasi desanya dan sebuah pusat perbelanjaan moderen di sebelahnya. Pak Arya adalah paman Anwar yang hidupnya sangat sederhana. satu petak sawah yang terletak di pinggiran desa sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bersama isteri dan seorang anaknya. ia tampak cekatan memberikan komando kepada dua ekor gembalaan yang setia membantunya mengolah tanah agar siap ditanami keesokan harinya.
Tiba-tiba nampak dari kejauhan seorang pemuda berjalan di sela-sela rerumputan yang tumbuh menghijau nan lebat. tubuhnya yang lemah dan langkahnya yang lambat tak berhasil membunuh semangatnya tuk bertemu dengan paman yang sangat dirindukannya. Rupanya Anwar baru saja datang dari kota, ia tak mampu membendung keinginannya tuk menengok adik bungsu ibunya yang sudah setengah abad hidup dipinggiran kota sebagai petani sawah.
"Hai nak kapan kamu datang..?" langsung saja pak Arya menyambutnya dengan senyuman.
"Aku baru saja tiba. sesampainya aku di rumah, bibi memintaku untuk memanggil paman pulang, sudah hampir malam katanya..!!!" Anwar berusaha menjelaskan alasannya langsung menemui pamannya di sawah.
Pak Arya pun segera menyudahi pekerjaannya dan segera menyambut putra kakaknya yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri itu. mereka kemudian menyempatkan diri bercengkrama di tepian sawah sambil mengistirahatkan otot-otot yang sudah sangat lelah menggerakkan tubuh kesana-kemari.
"Bagaimana keadaanmu nak...? tanya pak Arya kepada Anwar setelah sebelumnya keduanya berpelukkan sejenak untuk melepaskan rindu.
"Alhamdulillah pak, aku masih merasa baik-baik saja walaupun badanku masih lemah" jawab Anwar singkat.
"Baguslah, banyak istirahat nak. Silahkan duduk sebentar, paman sudah lama ingin ngobrol-ngobrol denganmu" pinta pak Arya.
Anwar yang masih menyimpan rasa penasaran terhadap bangunan besar yang baru dibangun di dekat desa pamannya pun segera menanyakannya pada pak Arya " bangunan apa itu pak...? tanya Anwar sambil menunjuk ke arah bangunan tersebut.
Pak Arya sudah bisa menduga keponakannya itu pasti baru melihat bangunan itu. sambil melepaskan topi jerami yang menutupi kepalanya ia pun menjawab " itu bangunan baru, pusat perbelanjaan" jawab pak Arya sambil menoleh ke Anwar.
"Oh pantesan aku baru lihat, tapi kok saya lihat tadi sungai di sekitar mall itu airnya mulai menguning ya Pak?" tanya Anwar keheranan.
Pak Arya yang masih dilumuri keringat tampak mengibas-ngibaskan topi ke arah badannya sejenak kemudian berusaha memberikan penjelasan.
"Air itu menguning karena limbah yang di buang oleh pabrik disebelahnya itu. limbahnya tidak diolah dulu sebelum di buang ke kali, banyak ikan-ikan yang mati keracunan." pak Arya kemudian melanjutkan " Mereka itu sudah terbalik tujuan hidupnya..!".
seketika kening Anwar nampak Menukik ke atas. " kok terbalik pak...? memangnya kenapa..? Anwar langsung mengejar dengan pertanyaannya.
Sambil tersenyum Pak Arya Menjawab " Kita ini kan diamanahkan untuk mengelola bumi beserta isinya, kita harus memanfaatkan Ilmu dan teknologi untuk kebaikan, bukan kerusakan" Pak Arya berusaha menjelaskan.
Anwar berusaha menyerap dan memahami kata-kata pamannya. sejenak suasana menjadi hening karena keduanya terdiam dalam pelukkan senja yang sudah hampir menghilang.
tiba-tiba Pak Arya melanjutkan, kali ini wajahnya tampak lebih serius " hidup mereka begitu rumit, selalu dihantui oleh keinginan-keinginan yang tak ada habisnya, mereka sudah tak mampu menguasai keputusannya. dikendalikan oleh mesin pencetak uang yang mereka cipta sendiri". Anwar langsung menyela " Mesin uang..?. Iya...!!! mall dan pabrik itu adalah mesin uang yang mereka ciptakan tapi kemudian tanpa mereka sadar mereka dikendalikan oleh apa yang mereka buat sendiri" jawab pak Arya mantap. setelah itu pak Arya menunjuk kedua sapinya " Nak lihat sapi milik bapak itu, aku pelihara sapi-sapi itu dari kecil sampai sudah besar begini, sekarang aku bisa mengendalikan mereka. aku bisa memerintahkan mereka kapanpun aku mau. aku lebih merdeka..!!! sedangkan mereka, waktunya sebagian besar mereka habiskan untuk mesin-mesin uang mereka, mereka tak bisa mengelak dari kondisi itu" kemudian Pak Arya menatap mata keponakannya yang sedari tadi terlihat begitu keheranan. namun tak lama kepala Anwar terlihat mengangguk-angguk seperti ada sesuatu yang baru ia sadari.
"Kini aku mengerti kenapa engkau bangga menjadi petani" sergah Anwar.
tanpa menunggu komentar dari pak Arya, Anwar menimpali " Rupanya paman merasa menjadi orang paling merdeka, makanya paman betah menekuninya". "ha..ha..ha..ha..kamu ini bisa aja, sudah ayo kita pulang. hari sudah mulai gelap" nanti bibi kamu khawatir lagi " Pak Arya berusaha menutup pembicaraan yang mengalir penuh kehangatan namun bermakna itu.
keduanya kemudian berjalan menyusuri jalan sempit diantara sawah-sawah menuju rumah Pak Arya. Anwar berusaha membantu pamannya membawakan berbagai perkakas yang dimiliki Pak Arya.
Semoga cerita di atas bisa memberikan kita sedikit kesadaran cara terbaik kita untuk hidup itu bukan mengenai seberapa mewah lingkungan yang kita tempati tapi seberapa banyak kita bisa tetap menjalankan tugas kita sebagai manusia di muka bumi
Makassar, 3-3-2016
~.Abdul A. Siolimbona.~

GENERASI SAKIT-SAKITAN

Di sebuah gang sempit kota metropolitan berjalan tertatih-tatih seorang pemuda yang terlihat sesekali mendekatkan telapak tangannya ke hadapan mulutnya. rupanya ia sesekali mengalami batuk berdahak yang sangat mengganggunya. nampak jelas keringat membasahi mukanya yang pucat meskipun terus diterpa terik matahari dan asap knalpot kendaraan yang sering ia jumpai ketika melewati beberapa sudut kota. ya Anwar adalah seorang pemuda yang sudah sepuluh tahun menderita Tuberkulosis (TBC). ketiadaan biaya membuatnya hanya pasrah saja menjalani sisa hidupnya dengan cara yang paling baik menurutnya.
Meskipun tubuh Anwar tak sehat lagi namun boleh jadi dialah orang yang paling bersemangat menjalani hari-harinya. suatu hari dia sempat menceritakan padaku tentang aktifitasnya dan kondisi tubuhnya yang berhasil menarik perhatianku. aku menghadangnya dengan pertanyaan saat tiba-tiba kami berpapasan sepulangnya aku membeli rokok. " apa yang kamu lakukan Anwar?" begitu cara sederhanaku membuka dialog kami. "kamu setiap hari aku lihat memungut sampah yang berserakan di sepanjang gang dan juga diselokan" aku melanjutkan.
sambil berusaha duduk di dekat sebuah karung yang kusam ia menjawab "aku ingin menjadi orang yang bisa melakukan kebaikan sebisa mungkin sebelum aku mati", saya jadi penasaran dengan orang ini. tanpa berpikir panjang segera kusergap dia dengan pertanyaanku "bagaimana caranya?". pandangannya kemudian menengadah ke langit, dengan perlahan ia menghembuskan nafasnya lalu kemudian melanjutkan
"meskipun hidupku tidak panjang lagi tapi aku ingin jiwaku tetap abadi sebagai orang yang telah berbuat baik untuk keselamatan orang lain". sambil membetulkan posisi duduknya di atas sebuah kayu lapuk ia berseloroh " aku dilahirkan di gang kumuh ini, orang-orang di sini tak tahu arti pentingnya hidup...!!!" "aku terserang penyakit ini karena lingkungan di sini sangat kotor. aku ingin tempat ini berubah, untuk itu setiap hari aku berkeliling membersihkan setiap sudut gang dan jalanan".
dia terlihat begitu mantap dengan pilihannya yang tentu tak membawa keuntungan apa-apa secara materil.
Terik matahari yg menerpa kami mulai menaikkan temperatur suhu tubuh, akupun segera pamit pada lelaki istimewa itu. tapi sebelum kami berpisah sambil berusaha bangkit dari duduknya dia sempat berujar " fisikku memang lemah dan wajahku pucat sehingga kamu dengan mudah bisa menebak kondisi tubuhku, tapi banyak orang disekitar kita yang jiwanya sedang sakit tapi tidak banyak yang tahu", ia kemudian mengambil karung yang sedari tadi menemaninya menyusuri gang-gang sempit dan kemudian melanjutkan nasehatnya padaku "meskipun hidup mewah dan berpendidikan tinggi tapi buang sampah sembarangan tandanya jiwa sedang sakit", ia menyeka keringat yang mulai mengalir di sela-sela matanya kemudian kembali melempariku dengan beberapa kalimat " yang paling berbahaya dari itu semua adalah orang yang suka memasukkan sampah ke pikiran orang...!!!" seketika aku dibuat kaget dengan proposisi kalimatnya, tapi sebelum keningku bertambah kerut ia melanjutkan "orang yang sering memasukkan sampah ke dalam pikiran orang lain adalah yang paling sering kita anggap normal, padahal mereka yang paling berbahaya bagi kehidupan. mereka menyuntikkan ajaran kekerasan, pembunuhan, pelecehan, kebebasan atas nama agama dan sains sehingga dunia ini semakin tercemari akibat kebencian dan peperangan" dia kemudian berjalan perlahanan ke ujung gang sementara aku terus menatapnya kosong, sampai akhirnya di tikungan sempit dia kemudian menghilang.

Makassar, 1-3-2016
~.Abdul A. Siolimbona.~


JADILAH EMBUN

Saya selalu yakin dan percaya bahwa alam ini bukan hanya terdiri atas trilyunan atom, tapi ada fenomena lain yang menjadi latar cerita dari tarian akbar jagad semesta. inilah pelajaran yang seharusnya mampu kita petik dari setiap alur gerak pada panggung mayapada.

Aku sampai saat ini begitu terpana dengan setiap skenario Tuhan pada setiap entitas di sekitarku, bahkan di dalam diriku. bagaimana tidak, hanya pada setetes embun kita dapat mereguk hikmah tentang ajaran kecintaan yang sungguh teramat tulus. kebeningannya seakan-akan sedang menertawakan berbagai ungkapan cinta manusia yang kebanyakan masih dibumbui oleh berbagai macam kotoran yang yang justeru mengurangi kadar kesucian cinta yang sedang mereka suguhkan.

Embun tidak pernah menyematkan identitasnya tentang jenis air apakah ia sebelumnya, proses yang dilaluinya telah membuatnya melepaskan sekat-sekat yang membuat dia berbeda dengan air lainnya. padahal bisa jadi sebelumnya setetes embun itu berasal dari danau-danau yang terletak di kaki gunung, dari mata air yang menyembul keluar dari balik-balik bukit, atau bahkan dari samudera yang terhampar begitu luas. mereka kemudian melepaskan jubah-jubah kesombongannya atas nama sekte-sekte pada air dan kemudian melebur dalam kemurnian air yang sesungguhnya di saat hari mulai menampakkan cahaya di pagi hari.

Bukankah itu ajaran yang teramat agung yang patut kita teguk?. saat ini kebanyakan manusia terlalu sibuk menegaskan identitas mereka kepada alam, identitas yang membuat mereka enggan untuk memberikan kehidupan kepada orang lain yang sedang sekarat dalam kesulitan yang tak pernah mereka mimpikan. Identitas yang membentuk sekte-sekte dan aksesoris-aksesoris sosial yang mereka anggap sebagai cara untuk menentukan nilai kehormatan seseorang dihadapan yang lainnya.

Padahal nilai kemanusiaan seseorang tidak pernah mengenal sekte-sekte itu sebagaimana embun tidak pernah menegaskan sekte-sektenya yang berasal dari balik bukit, kaki gunung atau hamparan samudera.

bisakah kita hidup dalam ketulusan? sekali lagi bukalah jendela anda di pagi hari, tengoklah pada rerumputan yang menghampar hijau dan mari kita belajar pada setitik embun di sana.

Makassaar, 8-3-2016

~.Abdul A. Siolimbona.~