Senin, 05 November 2018

Modernisme Cartesian dan Kerusakan Lingkungan

Konsep Ekologi yang Rapuh
Persoalan pengelolaan lingkungan adalah suatu persoalan yang sama tuanya dengan usia manusia di muka bumi. Pengelolaan lingkungan adalah persoalan yang memposisikan manusia dalam dua kepentingan yang berbeda. Pertama,  bagaimana manusia mengambil sesuatu yang dibutuhkan dari alam untuk digunakan memuhi kebutuhan individual dan sosialnya. Kedua, bagaimana menjaga agar apa yang dilakukan terhadap alam tidak memberikan dampak pada terganggunya keseimbangan alam yang akan berakibat pada terancamnya keberadaan entitas-entitas yang ada di dalamnya, termasuk manusia itu sendiri.
Ernst Haekel adalah orang yang mendefinisikan ekologi sebagai “Ilmu tentang relasi di antara organisme dan dunia luar sekitarnya”. Namun harus kami sampaikan di sini bahwa pembahasan mengenai ekologi yang coba kami paparkan pada tulisan ini adalah kajian lingkungan yang bukan menitikberatkan pada aspek teknis-praktis pengelolaan lingkungan, namun kami merasa lebih tertarik pada tinjauan dari akar-akar filosofis paradigma mengenai lingkungan yang menjadi dasar pengelolaan lingkungan. Kami percaya bahwa aspek praktis selalu ditentukan oleh aspek teoritis (filosofis) yang menjadi landasannya. Aspek praktis adalah persepsi tentang bagaimana memperlakukan sesuatu sebagaimana mestinya yang tentu saja didahului oleh persepsi teoritis tentang bagaimana realitas sebagaimana adanya.
Lingkungan hidup sebagai tempat di mana manusia hidup kini telah barada pada kondisi yang mengkhawatirkan dan berdampak terhadap terancamnya kehidupan manusia maupun makhluk lainnya sebagai akibat dari kesalahan manusia baik disengaja ataupun tidak. Dikutip dari BBC Indonesia, Badan Kesehatan Dunia menyatakan 80% penduduk dunia terpapar polusi udara (BBC Indonesia, Maret 2017). Tingginya laju penebangan hutan dan lahan atas juga sering menyebabkan banjir yang menelan cukup banyak korban jiwa.

Sumber : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBIy87nz5efzbD_WKFBl552_r_400TM3bivxxDNMg-g-QpXluuzVPUhXLFB_cWa8GgN24L9IhpQhHWUp_CtOKELSz32QqiZ9ODL1AAWxztWnmpHPNhQeJSl1POfCL_34hDAHCJ2mmz7VM/s320/29213_449379919026_271484204026_6024158_6289070_n.jpg 
Aksi penebangan hutan secara massif

Di wilayah pantai, material tanah  di dataran tinggi terbawa banjir hingga ke laut sehingga menyebabkan meningkatnya sedimenetasi yang berakibat pada tertutupnya terumbu karang dan biota dasar laut yang berdampak pada terganggunya ekosistem di wilayah laut dan pesisir.  Selain itu tingginya kebutuhan pembangunan di wilayah pesisir menyebabkan aktifitas reklamasi pantai terus meningkat sehingga pada giliranya mengakibatkan terjadinya banjir rob yang merusak pemukiman warga.

Di sisi lain, konservasi sebagai model rehabilitasi lingkungan  hidup yang bersifat konvensional  sejauh ini terlihat hanya bermotif  ekonomi (meminimalisir kerugian ekonomi di masa depan) sementara nilai etis dan religius belum menjadi alasan mendasar pengelolaan lingkungan. Konservasi lingkungan sebagai upaya untuk merehabilitasi kerusakan lingkungan hanyalah tambal sulam yang tidak memberikan solusi berkelanjutan terhadap persoalan pananggulangan kerusakan lingkungan secara menyeluruh. Konsep konservasi seakan hanya menyelesaikan masalah pada tingkatan hilir atau pada tataran tindakan, sedangkan pada tingkatan hulu yakni paradigma sains modern bercorak Cartesian-Newtonian yang atomistic dan reduksionistik sampai hari ini masih menjadi candu bagi kehidupan masyarakat modern utamanya masyarakat Barat dan juga sebagian masyarakat timur yang terpengaruh olehnya.

Penolakan Terhadap Paradigma Cartesian
Akibat dari paradigma sains modern yang atomistic-reduksionistik ini kehidupan industrialis-kapitalis seakan mendapatkan perlindungan intelektual (Intellectual protection) dalam tindakan ekspolitasi besar-besaran terhadap sumberdaya alam dikarenakan paradigma sains modern yang terlanjur ‘mendiktekan’ kesimpulannya bahwa alam hanyalah entitas-entitas mekanistik yang tak bernilai sehingga bebas untuk ‘diperbudak’ demi kepentingan kesejahteraan masyarakat industrial. Akibatnya, terjadi peningkatan kerusakan lingkungan yang turut menjadi ancaman bagi kehidupan manusia di muka bumi.
Semangat pemberontakan terhadap agama yang dihembuskan oleh gerakan renaissance pada abad ke 15 yang diawali oleh ‘Hentakan Pemikiran’ Descartes bukan hanya berupaya melawan dominasi agama yang saat itu dianggap telah merampas kemerdekaan berpikir manusia, namun lebih jauh berusaha untuk menjauhkan agama dan Tuhan dari kehidupan umat manusia. Periode yang dianggap sebagai masa pencerahan dianggap ‘berhasil’ mencapai tujuannya yang paling penting-minimal bagi kaum intelektual Barat saat itu-yakni mengambil alih panggung intelektual dari cengkraman lembaga agama.
Thomas S. Kuhn mencoba untuk menunjukkan gugatannya terhadap kemapanan paradigma sains modern dengan mengajak kaum intelektual untuk melakukan revolusi paradigmatik melalui bukunya The Structure of Scientific Revolution.  Selain Thomas S. Kuhn, watak dasar sains modern yang telah menjadi doktrin dalam proses pengelolaan lingkungan digugat banyak ilmuan antara lain Ashley Montagu, Gregory Bateson, Fritjof Capra, Morris Berman, Douglas C. Bowman, Stephen Toulmin dan Sayyed Hosein Nashr. Paradigma sains modern dianggap masih didominasi oleh cirinya yang dualistik, atomistik bahkan mekanistik.

Oase dari Timur
Sementara masyarakat Timur dengan paradigma religius-mistisnya telah lama terabaikan dari panggung modernisme. Ajaran-ajaran luhur yang telah lama menjadi nafas kehidupan tidak berhasil dimengerti oleh kaum intelektual barat sebagai oase di tengah tandusnya kehidupan masyarakat modern. Realitas sejarah peradaban pemikiran masyarakat Timur menunjukkan bahwa cukup banyak gagasan-gagasan pemikiran dari Timur yang sangat ramah terhadap alam, bahkan menghormatinya. Hal ini dapat kita temukan pada karya-karya para kaum intelektual, filusuf, bahkan Sufi dari timur seperti Muhammad Iqbal, Sayyid Husein Nashr,  Mulla Shadra, Ibnu Sina, Suhrawardi, Ibnu Arabi, dll.
Jika pada peradaban masyarakat barat telah lama cenderung hidup dalam kungkungan paradigma sains modern yang dualistik-reduksionistik atau melihat segala realitas (materi dan non materi, jiwa dan jasad) secara terpisah antara satu dengan lainnya sehingga antara satu sisi dengan sisi lainnya tidak saling mempengaruhi maka berbeda halnya dengan yang menjadi paradigma masyarakat Timur. Peradaban masyarakat Timur cenderung melihat segala realitas dalam kacamata Tauhid, Tao atau Zen yang melihat bahwa realitas pada hakikatnya satu, tidak ada pemilahan. Perbedaan itu terjadi pada realitas akibat adanya perbedaan kualitas, namun antara satu sisi dengan sisi lainnya sesungguhnya tidak terpisah dan juga saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Manusia tidak terpisah dengan alam, pun demikian manusia tidak terpisah dengan Tuhan sehingga segala gerak dari satu entitas di muka bumi ini akan turut mempengaruhi entitas lain. Untuk itulah maka alam perlu dikelola dengan baik berdasarkan etika ilahiah agar tidak merusak keseimbangan ekologi yang akan berlanjut pada terganggunya kehidupan umat manusia.
Sumber :
  1. Dr. Ach. Maimun, M.Ag. "Seyyed Hossein Nasr; Pergulatan Sains dan Spiritualitas Menuju Paradigma Cosmologi Alternatif". Dr. Ach. Maimun, M.Ag.IRCiSoD, Yogyakarta, 2015.
  2. Thomas S Kuhn. The Structure of Scientific Revolutions; Peran Paradigma dalam Revolusi Sains.
  3. http://www.bbc.com/indonesia/majalah-39176908

Minggu, 04 November 2018

Pancasila Rumah kita




Beberapa waktu lalu kita dihebohkan oleh kejadian kerusuhan yang terjadi di MAKO BRIMOB, Kelapa Dua, Jakarta. Kejadian yang kembali menyentak kesadaran kita bahwa sel-sel tidur para teroris masih menjadi bom waktu di negeri ini yang jika kita biarkan akan meluluhlantakkan kehidupan kebangsaan kita yang telah berpuluh-puluh tahun kita rawat di bumi nusantara ini.
Perilaku ekstrimisme seakan tak pernah mati di negeri ini semenjak mulai kembali menampakkan eksistensinya di awal tahun 2000-an hingga kini. Mulai dari kasus Bom Gereja, Bom Bali, Bom Marriot dan berbagai rentetan kasus kekerasan atas nama agama yang terus mengganggu nurani kita. Apalagi dalam keberagaman agama ras dan suku serta budaya di Indonesia, tentu hal ini adalah ancaman yang sangat serius.
Kita sudah tidak bisa acuh lagi terhadap hal ini dan membiarkan aparat keamanan saja yang berjibaku menghalau aksi-aksi mereka lalu kita tetap membuka diri dengan mereka dan membiarkan ideologi mereka tumbuh dan menggerogoti masyarakat kita sedikit demi sedikit, bagaikan tumor ganas yang menjalar perlahan ke sekujur tubuh lalu kita diamkan, akhirnya setelah sadar semuanya sudah terlambat, hanya pasrah pada kematianlah yang bisa kita terima.
Aksi kekerasan tentu harus kita telusuri apa motif yang melatarinya? Apakah motif ekonomi? Politik ataukah motif agama yang melatarinya. Jika sudah ditemukan maka tugas kita adalah melakukan langkah preventif, persuasif dan edukatif. Agar sumber masalah radikalisme-terorisme ini segera teratasi dan kita kembali melanjutkan cita-cita bapak pendiri bangsa kita membangun negara yang sentosa, adil dan makmur dengan dilandasi nilai-nilai kemanusiaan.
Berdasarkan penelusuran saya dalam beberapa sumber, sejatinya gerakan radikalisme dan terorisme di Indonesia diawali oleh tumbuhnya ideologi dalam sebuah mazhab keagamaan yang dimulai sejak masa pasca kemerdekaan dengan lahirnya DI/TII dan Negara Islam Indonesia (NII) di awal tahun 50-an. Meskipun hingga tahun 60-an para pemimpin gerakan ini berhasil ditangkap dan dibunuh oleh pemerintahan saat itu, namun ideologinya belum hilang dan terus dikembangkan sehingga muncul kembali di tahun 70 dan 80-an.
Setelah reformasi, gerakan radikalisme mendapatkan angin segar dengan terbukanya keran demokrasi seluas-luasnya sehingga masing-masing orang dan kelompok bebas berkumpul dan berpendapat, begitupun gerakan radikalisme di Indonesia. Terhitung sejak tahun 2000 hingga tahun 2016 kasus peledakan bom oleh jaringan terorisme sudah terjadi sebanyak 15 kali .Sampai hari ini kita masih dihebohkan dengan kasus penyanderaan dan pembunuhan di MAKO BRIMOB Kelapa Dua yang dilakukan oleh para napi teroris pada Selasa/08/05/2018.
Pertanyaan yang patut kita ajukan, dimana letak kesalahan kita sehingga kasus terorisme ini tak kunjung teratasi?
Jika kita sedari awal bertumpu pada prinsip bahwa gerakan pemikiran dilawan dengan gerakan pemikiran dan gerakan fisik dilawan dengan gerakan fisik maka masalah ini (radikalisme-red) harusnya tidak berlarut-larut. Kita selama ini seakan berusaha mendinginkan air mendidih di dalam sebuah belanga yang sedang terpanggang di atas api dengan cara mencampurkan air dingin ke dalam air di dalam belanga itu. Padahal, meskipun suhu air di dalam belanga akan berubah menjadi dingin, namun lama kelamaan suhu air akan kembali meningkat karena api sebagai faktor utama adanya suhu panas belum dipadamkan.
Pertanyaannya kemudian, di manakah letak api yang terus membakar seseorang untuk melakukan tindakan radikalisme? Jawabannya adalah di dalam pikiran mereka!, Ideologi mereka!. Meskipun seorang pelaku terorisme dan penganut radikalisme telah ditangkap, tapi selama api ideologi di dalam kepala mereka belum kita padamkan maka tindakan kekerasan atas nama agama akan kembali terulang dan terus memakan korban.
Ideologi Wahabisme yang menganggap orang lain yang berbeda dengan mereka sebagai kafir dan halal darahnya itulah yang harus kita lawan. Dilawan dengan apa? lebih arif adalah dengan gerakan pemikiran. Tunjukkan letak kesalahan berpikir mereka, tunjukkan bahwa orang tidak bisa memaksakan apa yang dia anggap benar kepada orang lain karena setiap dari kita memiliki kemerdekaan yang diberikan oleh Tuhan YME, Allah SWT kepada setiap umat manusia.
Yang harus kita lakukan adalah memasifkan pendidikan toleransi, Persatuan, pluralisme, humanisme, dan prinsip-prinsip agama yang moderat. Nilai-nilai itu semua sudah ada dalam ajaran pancasila yang selama ini menjadi ideologi bangsa kita. Seperti pernyataan Syaik Al-Azhar Prof. Dr. Ahmad At-Thayyeb saat menerima kunjungan Menteri Kordinator Bidang Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan di Kairo, 26 April 2018.
Selama ini pendidikan kepancasilaan kita cenderung hanya bersifat propaganda dan kampanye. belum menyentuh ke ranah intelektual-filosofis. Kita hanya disuguhkan dengan kalimat bahwa kita harus menghargai perbedaan, namun kita belum sampai mengajarkan dari manakah perbedaan dan mengapa perbedaan itu mesti ada? sehingga kita harus saling mengenal, bertoleransi, bersatu dan membangun peradaban yang manusiawi di atas prinsip keadilan yang berketuhanan.
Kalangan intelektual kita punya semangat mengajarkan pancasila dan itu perlu untuk diapresiasi. Namun, jangan berhenti sampai pada naskah akademik yang serampangan yang tak jelas bangunan epistemologinya apa?, pandangan dunianya bagaimana?, serta harus berperilaku (Aksiologinya) seperti apa?
Maka, sekali lagi peran aparat dan pemerintah saja tidak cukup, semua lapisan masyarakat; kaum intelektual, mahasiswa, LSM, komunitas masyarakat, Partai Politik semuanya harus mau bekerja sama menyingkirkan tumor ganas yang sudah terlanjur menggerogoti tubuh bangsa ini. Mulailah dari lingkungan keluarga, tetangga rumah, teman sekelas, teman sekampus, teman seprofesi hingga menyebar di seantero negeri ini. Polanya harus seperti itu, karena kelompok radikalisme juga memulainya dengan cara seperti itu.
Jangan biarkan mereka menebarkan virus ke dalam tubuh bangsa ini. Kita telah lama hidup rukun berdasarkan doktrin pancasila. Namun sekedar doktrin saja belum cukup, perlu pemahaman yang dalam agar dapat menangkal ancaman ideologi radikal yang tumbuh liar dan massif. Pancasila harus terus menjadi tempat kita berteduh dan berlindung dari ancaman perilaku anti kemanusiaan, untuk itu harus terus diperkuat.
Karena Pancasila adalah rumah kita.
Soekarno : ” Pancasila adalah saripati kebudayaan bangsa Indonesia yang telah tertanam selama ribuan tahun”
Tulisan ini pernah dimuat di website www.humanillumination.com

Selasa, 12 Juni 2018

Ancaman Serta Prospek Kawasan Mangrove Pantai Gumumae dan Desa Sesar



Alam sebagai bagian tak terpisahkan dari manusia memiliki berbagai macam potensi baik secara ekonomi maupun ekologi. Berbagai macam ekosistem yang hidup di dalamnya selain menjadi sumber bahan pangan, bahan papan (material bangunan) juga menyimpan potensi wisata alam (ekowisata). Sayangnya, kurangnya pemahaman dan kesadaran, mengakibatkan masyarakat maupun para pengambil kebijakan sering abai dalam pemanfaatan potensi yang ada, alih-alih dimanfaatkan dalam rangka peningkatan taraf hidup masyarakat dan pendapatan daerah, justeru sebaliknya alam dirusak oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab akibat lemahnya pengawasan dan penegakan hukum yang pada akhirnya akan berdampak pada hilangnya tumpuan ekonomi serta meningkatnya resiko saat terjadi bencana alam.
Salah satu potensi alam yang dapat dimanfaatkan dalam meningkatkan ekonomi masyarakat yaitu kawasan hutan mangrove. keberadaan hutan mangrove mampu menyediakan nutrient yang bermanfaat bagi biota yang hidup di dalamnya, bentuk akar mangrove yang khas menyerupai cakar menjadi daerah pemijahan (spawning ground) yang baik bagi biota laut. Selain itu, hutan mangrove juga dapat meminimalisir resiko bencana alam seperti abrasi pantai, tsunami serta terpaan angin puting beliung. Akar-akar mangrove yang kuat mampu menahan hempasan gelombang dari laut serta menjadi perangkap partikel material yang menyebabkan terjadinya sedimentasi secara terus menerus. Begitupun saat terjadi gelombang tsunami, akar-akar mangrove mampu menahan laju gelombang yang mengalir dari laut saat terjadinya tsunami sehingga dapat meminimalisir kerusakan yang terjadi, bahkan meminimalisir jatuhnya korban jiwa.
Di daerah Kabupaten Seram Bagian Timur, keberadaan kawasan hutan mangrove dapat ditemukan antara lain di Pulau Akat, Kecamatan Tutuk Tolu dan di pesisir Desa Sesar, Kecamatan Bula. Keberadaan hutan mangrove tersebut menjanjikan potensi ekonomi yang baik jika dimanfaatkan secara maksimal. Namun selama ini keberadaan hutan mangrove baik di pesisir Desa Sesar maupun di Pulau Akat belum mampu dimaksimalkan, baik sebagai destinasi wisata maupun sebagai kawasan konservasi.
Icon Pantai Gumumae yang menjadi Spot favorit pengunjung untuk melakukan pengambilan gambar


Kondisi Kawasan Mangrove Pantai Gumumae (Tanjung Sesar).
Keberadaan kawasan Hutan Mangrove di Pantai Gumumae (Tanjung Sesar) beberapa tahun yang lalu dilengkapi dengan jembatan berbahan kayu yang mengitari kawasan mangrove. Adanya fasilitas tersebut mampu menarik perhatian para pengunjung untuk datang menikmati suasana alam di sekitar kawasan hutan mangrove. Namun, saat ini jembatan tersebut telah mengalami kerusakan total sehingga tidak bisa lagi digunakan. Hal ini tentu berdampak pada menurunnya daya tarik Pantai Gumumae sebagai objek wisata unggulan di Kabupaten Seram Bagian Timur.
Di samping kawasan hutan mangrove di Pantai Gumumae, terdapat juga kawasan mangrove di pesisir Desa Sesar, tepatnya di kawasan Kampung Nelayan, Sesar. Namun dalam beberapa tahun terakhir laju penebangan terhadap mangrove cukup tinggi. hal ini dikarenakan berkembangnya pemukiman penduduk serta tidak maksimalnya pengawasan oleh aparat terkait. Penebangan mangrove tentu berdampak pada hilangnya daerah pemijahan (Spawning Ground) serta daerah pembesaran (nursery ground) bagi biota laut serta habitat bagi hewan lainnya sehingga menjadi sumber keanekaragaman hayati (Biodiversity). Kerusakan hutan mangrove di Desa Sesar tentu juga meningkatkan resiko saat terjadinya bencana alam. Fungsi akar-akar mangrove yang dapat menjadi perangkap sedimen sehingga mencegah terjadinya abrasi pantai telah dirusak demi kebutuhan lahan pemukiman. Selain itu, ancaman kerusakan akibat tsunami juga semakin tinggi dengan ditiadakannya mangrove seagai penahan laju ombak dari laut. terpaan angin puting beliung juga yang harusnya bisa dihalangi oleh mangrove, namun dengan penebangan maka resiko kerusakan perumahan warga akibat angin putting beliung semakin tinggi. Hal ini pernah di rasakan oleh masayarakat Graha Indah di Balikpapan yang harus menjadi korban angin puting beliung. Akibatnya, sebanyak 300 rumah warga mengalami kerusakan.
Penebangan mangrove di pesisir Desa Sesar selain akibat kebutuhan pemukiman, juga untuk keperluan pembangunan jalan yang menghubungkan jalan utama ke pemukiman nelayan. Sering kali pembangunan mengabaikan kepentingan ekologi. Tidak tersedianya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) mengakibatkan pembangunan yang mendahulukan sektor tertentu dan mengabaikan sektor yang lain. Padahal dengan adanya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dapat menjaga keseimbangan dan keserasian wilayah antar sektor sehingga tercipta keharmonisan dengan alam guna meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat yang berdampak pada terwujudnya integritas nasional.
Penebangan mangrove untuk pemukiman warga di Kampung Nelayan, Desa Sesar,
Kecamatan Bula, Kabupaten Seram Bagian Timur-Maluku


Potensi ekonomi dan ekowisata  
Sebuah Perbandingan
Keberadaan hutan mangrove jika diberdayakan dengan baik dapat menjadi tempat rekreasi, lokasi penelitian, kawasan konservasi serta sumber pemasukan ekonomi baik bagi masyarakat maupun bagi keuangan daerah. Sebagai contohnya Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan (KKMB) Kota Tarakan yang saat ini telah menjadi ikon wisata Kota Tarakan dengan beragam fungsi yakni pendidikan, hiburan serta Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Pintu masuk Kawasan Konservasi Hutan Mangrove dan Bekantan 

Objek wisata seluas 8,8 ha yang mulai dikelola sejak tahun 2001 ini juga menjadi rumah bagi puluhan ekor Bekantan (Nasalis larvatus)-sejenis kera yang memiliki hidung panjang- yang mulai dikembangkan di kawasan konservasi ini sejak tahun 2003. Kera-kera tersebut selain menjadi maskot daripada kawasan wisata Ancol, juga merupakan maskot wisata Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan (KKMB) Kota Tarakan. Di tahun tersebut Dinas Pariwisata Kota Tarakan selaku pengelola mengembangbiakkan 6 ekor. Hingga saat ini jumlah Bekantan telah mencapa 40 ekor. Selain menyediakan hewan langka seperti Bekantan, pemerintah Kota Tarakan juga menyediakan perpustakaan, pos istirahat dan gazebo. Aparat pemerintah setempat dalam membangun kawasan wisata mangrove juga melibatkan pihak PERTAMINA sehingga bisa menggunakan dana CSR (Corporate Social Responsibility) guna membangun berbagai fasilitas yang dibutuhkan.
Keberadaan fasilitas penunjang dikawasan wisata tersebut cukup memadai serta terawat dengan baik, letak kawasan wisata mangrove Kota Tarakan juga sangat strategis karena letaknya yang berdekatan dengan pusat kota sehingga mudah dijangkau oleh masyarakat baik menggunakan angkutan pribadi maupun angkutan umum. Hal ini yang menjadi salah satu keunggulan Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan (KKMB) Kota Tarakan.
Suasana Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan Kota Tarakan

Berdasarkan hasil penelitian tim peneliti dari Universitas Borneo-Tarakan diketahui bahwa dengan adanya kawasan wisata konservasi mangrove di Kota Tarakan tersebut mampu memberikan efek ekonomi kepada masyarakat (multiplier effect) sehingga dari 90 orang yang diwawancarai 20% memiliki pendapatan di atas Rp. 2.000.000/ bulan, 13,33% memiliki pendapatan berkisar Rp. 1.500.000-2.000.000/bulan, 37,78% memiliki penghasilan sebesar Rp. 1.000.000-1.500.000/bulan, 21,11% memiliki penghasilan sebesar Rp. 500.000-1.000.000/bulan dan sisanya, yakni 7,78% berpenghasilan kurang dari 500.000.

Prospek Hutan Mangrove Pantai Gumumae
Jika kita hendak membandingkan karakteristik hutan mangrove, Kota Tarakan dan hutan mangrove Pantai Gumumae maka bisa dikatakan pantai Gumumae memiliki karakteristik yang khas sehingga menjadi keunggulan tersendiri. Keunggulannya yakni selain topografi Pantai Gumumae berupa lumpur, khususnya di bagian dalam yang menjadi tempat mangrove tumbuh, juga merupakan pantai berpasir putih di bagian luar yang menghadap laut lepas dimana ratusan pohon cemara laut (Casuarina equisetifolia)  tumbuh, hal ini tentu menjadi keunikan tersendiri bagi Pantai gumumae. Selain itu, keberadaan berbagai macam reptil seperti buaya dan ular bisa dijadikan sebagai objek pengamatan para peneliti.
Hamparan pohon cemara laut (Casuarina equisetifolia) di Kawasan Wisata Pantai Gumumae

Letak pantai Gumumae yang berdekatan dengan pusat Kota Bula juga menjadi keunggulan tersendiri untuk dikembangkan karena mudah dijangkau oleh masyarakat. Namun, yang menjadi tugas daripada pemerintah setempat agar memastikan adanya fasilitas penunjang kawasan wisata mangrove seperti jembatan kayu yang akan digunakan oleh pengunjung masuk ke dalam area hutan mangrove, MCK, Musholla, fasilitas penerangan, serta jalan setapak dipinggir pantai yang nyaman sehingga momen liburan panjang (seperti lebaran saat ini hehe) masyarakat tak mesti jauh-jauh ke memilih tempat berekreasi.
Tantangan berikutnya adalah bagaimana merubah pola pembangunan pemukiman yang tidak lagi mengorbankan ekositem mangrove agar penebangan terhadap mangrove bisa diminimalisir. Terkait mitigasi bencana, terjaganya kawasan hutan mangrove dapat melindungi pemukiman warga dari ancaman abrasi pantai, tsunami, rembesan air laut, terpaan angin puting beliung. Selain itu, dengan tingginya kunjungan wisatawan di kawasan wisata mangrove juga akan menciptakan efek ekonomi yang pada akhirnya akan meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar. Para pengrajin bisa menjajahkan hasil kerajinannya, para penjual makanan dan minuman disediakan bangunan sewa untuk menjajakan makanan dan minumannya, keberadaan warung makan akan meningkatkan permintaan sayur, ikan, beras serta kebutuhan lainnya. tingginya permintaan ikan akan meningkatkan pendapatan nelayan, tingginya aktifitas nelayan akan meningkatkan kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan begitu seterusnya. begitulah efek ekonomi yang akan tercipta. Tentu pembangunan kawasan wisata hutan mangrove ini tidak hanya dibebankan kepada pemerintah, namun dapat juga memanfaatkan perusahaan-perusahan tambang yang beroperasi di Kota Bula melalui mekanisme CSR (Corporate Social responsibilities).

Tulisan di atas mengulas pamnfaatan potensi satu objek wisata. jika terealisasi maka betapa banyak masyarakat yang terangkat dari lembah kemiskinan. bagaimana jika semua objek wisata di bumi Ita Wotu Nusa ini dapat dimaksimalkan? tentu lebih banyak lagi masyarakat yang meningkat taraf hidupnya dan terangkat dari jurang kemiskinan.
Semoga!

12/06/18