Jumat, 24 Juli 2020

TAHUN POLITIK DAN MASA DEPAN NELAYAN MALUKU

Hasil Tangkapan Nelayan Maluku (Sumber : Jatimnet.com)

 Oleh: Abdul Ajiz Siolimbona, S.Pi, M.Si

Tahun 2020 ini merupakan tahun politik yang krusial bagi Indonesia. dianggap krusial karena di 270 Kabupaten/Kota se-Indonesia akan dilakukan pemilihan kepala daerah baru pada tanggal 9 Desember 2020 nanti. Pesta demokrasi guna memilih orang nomor wahid di setiap kabupaten/kota tersebut diselenggarakan dari Sumatera hingga Papua. Di Provinsi Maluku sendiri akan terjadi pemilihan kepala daerah di 4 kabupaten, yakni Kabupaten Kepualauan Aru, Kabupaten Maluku Barat Daya, Kabupaten Seram Bagian Timur dan Kabupaten Buru Selatan.
Tentu publik menaruh harapan besar pada setiap moment pergantian kepala daerah tersebut. Kebijakan yang selama ini dianggap tidak tepat, tak menyentuh masalah secara substantif serta tak memberikan dampak nyata terhadap masyarakat akan berganti menjadi lebih baik dengan bergantinya kepala daerah. Begitupun sebaiknya, kepala daerah yang oleh masyarakat dianggap sudah bekerja dengan baik, menyelesaikan masalah daerah secara substantif serta mampu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat diharapkan akan terpilih lagi sehingga akan melanjutkan kinerja postifnya pada periode kedua.
Namun di sisi lain, tak bisa dinafikan bahwa banyak juga masyarakat yang merasa pesimis, hal ini terbukti dengan semakin meningkatnya angka golput dari tahun ke tahun sehingga pada tahun 2004 angka golput sebesar 23,24%, 27,45% di tahun 2009 dan 30,42% pada 2014. Namun angka golput akhirnya menurun drastis di tahun 2019  yang hanya mencapai 19,24% (LSI, 2019). Bisa jadi di tahun 2019 adalah prestasi terbesar KPU dalam hal menurunkan angka golput di Indonesia.
Ada beberapa alasan yang mengemuka sehingga masyarakat menjadi enggan untuk berpartisipasi dalam momentum pemilihan umum, salah satunya meningkatnya ketidakpercayaan publik terhadap partai politik karena dianggap tidak bekerja untuk kepentingan masyarakat kelas bawah (grassroot), namun hanya mementingkan keuasaan. Selain itu, masih tingginya angka kemiskinan juga menjadi alasan memudarnya harapan pada sosok yang mewakili partai tertentu. Di Indonesia sendiri, kemiskinan sampai saat ini masih didominasi oleh masyarakat pesisir yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Pada 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan angka kemiskinan di Indonesia mencapai 9,41 %. Maluku sendiri tetap bertahan menjadi Provinsi termiskin ke-4 di Indonesia dengan jumlah 317.690 orang atau 17,69% dari total jumlah penduduk di Provinsi Maluku (melebihi presentase kemiskinan nasional). Jika Maluku sebagai perovinsi yang mayoritas desanya adalah desa pesisir menjadi provinsi termiskin ke-4 maka sudah bisa dipastikan angka kemiskinan nelayan di Maluku cukup tinggi. Padahal secara nasional, 80% dari kebutuhan ikan dalam negeri disuplai oleh nelayan kecil.
Nelayan menjadi komoditas politik
Di Indonesia, sudah sering kita lihat para politisi yang ramai-ramai melakukan pencitraan menjelang pemilihan umum demi meningkatkan tingkat elektabilitasnya. Hal ini tentu berkaitan dengan desain pesan yang ingin disampaikan kepada calon pemilih (voter). Struktur sosial yang terlanjur menempatkan nelayan berada di lapisan paling bawah bersama golongan masyarakat petani menjadikan mereka sangat rentan dieksploitasi demi meraih kemenangan pada sebuah kontestasi politik. Masyarakat nelayan yang selalu berada pada kondisi lemah dan tak berdaya seakan berubah menjadi ‘primadona’ ketika moment politik tiba. Tak jarang kita lihat para calon kepala daerah, calon anggota legislatif bahkan calon presiden yang sedang berkontestasi, memilih untuk berpose bersama nelayan atau bahkan berdandan layaknya nelayan demi menyampaikan pesan politik kepada para calon pemilih bahwa dia dalah bagian daripada masyarakat bawah. Hal ini tentu bertujuan untuk menaikkan elektabilitasnya di mata publik saat moment pemilihan tiba. Namun yang menjadi ironi adalah seringkali pasca pemilihan umum, nelayan kembali ditelantarkan dan kebijakan yang dirumuskan tidak menyelesaikan persoalan kemiskinan nelayan.
Kebijakan pembangunan belum pro nelayan
Meskipun dalam beberapa tahun yang lalu, utamanya di saat Menteri Kelautan dan Perikanan masih djabat oleh Ibu Susi Puji Astuti, banyak pihak yang dibuat takjub dengan kebijakan Ibu Susi yang mengebom dan menenggelamkan kapal illegal yang tertangkap sedang beroperasi di Perairan Indonesia. Namun belakangan mulai banyak orang yang meyangsikan dampak kebijakan tersebut bagi peningkatan kapasitas ekonomi nelayan di Indonesia. Misalnya, ketika di satu sisi Ibu Susi menenggelamkan kapal guna meminimalisir angka illegal fishing oleh kapal asing demi menjaga kedaulatan laut dan menjaga keberlanjutan sumberdaya ikan (sustainability), namun di sisi lain menteri kelautan saat itu juga mengeluarkan larangan pengoperasian beberapa jenis alat tangkap ikan yang sebelumnya banyak digunakan oleh nelayan. Akibatnya, produktifitas hasil tangkapan nelayan terus mengalami penurunan. Hal ini semakin diperparah dengan buruknya tata kelola niaga perikanan di Indonesia yang masih cenderung merugikan nelayan. para pembeli seringkali lebih kuasa dalam penentuan harga ikan yang hendak dibeli. Selain itu mata rantai distribusi yang terlalu panjang mengakibatkan keuntungan nelayan semakin minim. Akibatnya, pelarangan terhadap alat tangkap tertentu, lemahnya posisi nelayan dihadapan para pembeli serta panjangnya mata rantai distribusi membuat nelayan semakin terjerembab dalam kubangan jurang kemiskinan. BPS pada 5 maret 2020 merilis, 52,94% nelayan di Indonesia memiliki Nilai Tukar Nelayan (NTN) di bawah 100 atau belum sejahtera. NTN adalah total pendapatan nelayan dari hasil perikanan dibagi total pengeluaran yang harus dikeluarkan oleh nelayan untuk kebutuhan konsumsi dan produksi. Untuk itu para kepala daerah yang nantinya terpilih diharapkan agar bisa membenahi tata niaga perikanan di wilayahnya masing-masing serta mengurangi mata rantai distribusi agar tidak terlalu banyak pedagang perantara yang akan berdampak pada semakin rendahnya harga hasil tangkapan.
Nelayan Maluku sejahtera(?)
Untuk mengukur tingkat kesejahteraan nelayan Maluku, kita bisa melihat tingkat NTN (Nilai Tukar  Nelayan). Masih berdasarkan data dari BPS pada 5 maret 2020 yang menyebutkan bahwa tingkat NTN provinsi Maluku adalah 105,04. Meskipun secara sepintas sudah masuk kategori sejahtera, namun dengan status Maluku sebagai pemilik pantai terpanjang di Indonesia yakni 10.630 km (11,17% dari total panjang garis pantai Indonesia) masih kalah dibandingkan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang memiliki NTN mencapai 106,61 dengan panjang garis pantai hanya 1200 km. Maluku juga kalah dibandingkan Provinsi Jambi yang memiliki NTN 106,73 dengan garis pantai hanya sepanjang 268 km. berdasarkan fakta tersebut maka Pemerintah Provinsi Maluku serta Pemerintah pusat harus terus mendorong pembangunan perikanan di Maluku.
Berdasarkan data Direktori perusahaan perikanan, pelabuhan perikanan, tempat pelelangan ikan (TPI) dan pangkalan pendaratan ikan (PPI) Provinsi Maluku tahun 2017, Jumlah Pelabuhan Perikanan di Maluku hanya berjumlah 3 buah yakni Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Tantui, Pelabuhan Perikanan Eri dan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Dumar. Tempat pelelangan ikan (TPI) di Maluku sampai saat ini belum ada yang aktif. Sedangkan untuk Pangkalan Pendarat Ikan (PPI) hingga tahun 2016 berjumlah 18, dimana hanya 3 yang aktif. Kondisi ini tentu sangat menyulitkan upaya pendataan aktifitas penangkapan ikan di Maluku. Maka kita patut bertanya bagaimana bisa NTN Provinsi Maluku dinyatakan di atas angka sejahtera sementara jumlah pelabuhan serta pangkalan pendaratan ikan banyak yang tidak aktif padahal ketidakaktifan itu membuat pendataan tak bisa maksimal dilakukan.
Paradoks OTODA
Otonomi daerah selain memberikan harapan bagi peningkatan kesejahteraan nelayan, seringkali justeru kembali menghadirkan kantong kemiskinan baru. Sudah menjadi rahasia umum bahwa program pemberian bantuan bagi nelayan seringkali tidak tepat sasaran, bahkan cenderung kontraproduktif. Pemberian bantuan oleh pemerintah daerah, baik di Maluku maupun di wilayah lain acap kali lebih mempertimbangkan relasi politik dalam konteks politik balas budi demi menjaga kantong suara (basis massa). Hal ini berdampak pada tidak efektifnya program bantuan bagi nelayan. Pada beberapa kasus, masyarakat yang berprofesi sebagai petani justeru mendapatkan bantuan alat tangkap. Sebaliknya, nelayan justeru mendapatkan bantuan bibit tanaman serta peralatan pertanian. Akibatnya, alat tangkap yang diberikan tidak dapat dioperasikan, atau malah dijual. Hal ini tentu berdampak pada tidak meningkatnya produkifitas sektor perikanan suatu daerah. Selain permasalahan tersebut, permasalahan lain terkait pembangunan perikanan yaitu proses pendataan yang sering direkayasa demi memberikan kesan positif terhadap kinerja pemerintah daerah. Implikasinya, kebijakan yang hendak dirumuskan sering tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya di lapangan.
Revolusi biru di Maluku sekarang juga
Peningkatan kesejahteraan nelayan di Maluku akan hanya menjadi angan jika kebijakan yang disusun hanya menyangkut infrastruktur tanpa melibatkan suprastruktur dan juga tidak melibatkan masyarakat di level grassroot. Saat ini armada kapal penangkap ikan di Maluku mayoritas didominasi oleh armada dengan kapasitas kurang dari 5 GT (Gross Tonage).  Tentu ini berdampak pada rendahnya tingkat produktifitas nelayan di Maluku. Pada tahun 2019, total penangkapan ikan di Maluku hanya mencapai 602,953 ton dari potensi perikanan tangkap Maluku sebesar 3.055, 504 ton/tahun, atau sekitar 20% yang mampu dimanfaatkan. Untuk itu bagi kepala daerah yang akan terpilih kedepan hendaknya pengambilan kebijakan dilakukan berdasarkan pendekatan menyeluruh yang memiliki dampak kepada semua lapisan masyarakat yang terkait dengan perikanan (Revolusi biru). tentu harus juga memiliki nilai keberlanjutan dan bukan hanya sekedar langkah-langkah yang berorientasi pada kepentingan politik elektoral semata.
Arif Satria pada tahun 2015 menawarkan revolusi biru dalam 3 model : Pertama, model teknokratik. Model ini berorientasi pada peningkatan kapasitas produksi dengan mengandalkan pengusaha besar di bidang perikanan serta padat modal. Namun model ini tidak memungkinkan untuk diterapkan di Indonesia mengingat usaha penangkapan ikan di Indonesia lebih didominasi oleh nelayan skala kecil dengan kapasitas di bawah 5 GT. Meskipun model ini pernah dipraktekkan di Peru, namun efek negatifnya adalah nelayan skala besar akan mematikan nelayan skala kecil dan tradisional. Kedua, model populis. Melalui metode ini fokus pengembangan perikanan lebih diarahkan pada usaha nelayan skala kecil. Filipina pernah menerapkan model ini, namun hasilnya tak mampu meningkatkan kapasitas produksi  akibat industrialisasi yang sangat minim. Aktifitas perdagangan hasil tangkapan hanya mengandalkan cara konvensional yang tidak memberikan dampak ekonomi berganda (multiplier effect). Ketiga,model tekno-populis. Yaitu model pengelolaan perikanan yang mengkombinasikan model teknokratik dan model populis. Hal ini dilakukan dengan cara tetap menjaga keberadaan pengusaha besar di bidang perikanan sembari juga meningkatkan kapasitas nelayan kecil. Agar tidak terjadi konflik terkait sumberdya ikan, maka nelayan dengan skala besar didorong untuk beroperasi di perairan lepas, sedangkan nelayan skala kecil dan tradisional beroperasi di wilayah perairan pantai. Hal ini sperti yang dipraktekkan oleh Jepang dan Norwegia yang berhasil menjadikan Norwegia sebagai eksportir ikan terbesar kedua di dunia dengan total niai ekspor 6, 94 milliar USD.
Di bidang pendidikan dan kebudayaan, pemerintah daerah sudah harus mendorong agar wawasan kemaritiman menjadi orientasi hidup. Masyarakat Maluku yang memiliki luas laut mencapai 92, 4% sudah harus menyadari bahwa sumber ekonomi sudah tidak lagi hanya bertumpu pada pala dan cengkeh tapi juga sumberdaya laut dan pesisir. Hal ini dapat dillakukan dengan menyusun kurikulum pendidikan berorientasi maritim sejak Sekolah Dasar (SD) hingga perguruan tinggi (PT).  Jika orientasi hidup orang Maluku sudah mengarah ke laut, maka masyarakat akan memanfaatkan laut secara maksimal. Sehingga ketika program lumbung ikan nasional (LIN) disahkan, masyarakat Maluku telah siap menyambutnya dan tidak menjadi penonton di negeri sendiri. Pada konteks kebudayaan, adanya budaya sasi laut yang telah menjadi kearifan lokal orang Maluku perlu dilindungi dengan peraturan daerah tentang adat (PERDA ADAT). Selama ini perda adat yang ada di Maluku hanya menegaskan status negeri-negeri adat beserta struktur pemerintahan adat yang ada, tanpa menyentuh lebih jauh upaya pelestarian kearifan lokal di Maluku. Di sinilah peran tanggung jawab kepala daerah yang nantinya terpilih jika memang ingin mewujudkan revolusi biru di bumi raja-raja. Semoga kita bisa mewujudkannya.