Rabu, 08 April 2020

Ancaman covid-19 ; Ujian rasa kemanusiaan kita



Oleh : Abdul A. Siolimbona

Sejak awal tahun 2020 masyarakat di seluruh dunia dihantui kecemasan akibat munculnya virus yang cukup mematikan yang oleh WHO disebut COVID-19 (corona Virus Desease-2019). Virus ini dianggap sebagai momok menakutkan karena korban yang berjatuhan akibat terinveksi olehnya tak pandang bulu. Baik orang kulit putih atau kulit merah, orang kaya ataupun kaum papa, kaum religius maupun ateis, orang medis atau non medis, semua tak luput dari ancamannya. Tak menunggu lama lagi, penyebaran virus ini dikategorikan sebagai pandemic karena penyebarannya begitu luas. Hingga tulisan ini dibuat, angka kematian di seluruh dunia akibat COVID-19 telah menyentuh angka 1.434.825 orang. Demikian seperti dimuat tirto.id merujuk kepada rilis yang dikeluarkan oleh Worldometers. Tak ayal negara paling borjuis sampai negara paling proletar dibuat kewalahan menghadapi penyebaran virus yang masih satu family dengan virus penyebab MERS dan SARS ini.

Sampai detik ketika anda membaca tulisan ini, Amerika menempati peringkat tertinggi sebagai negara dengan korban terbanyak (399.929 kasus positif, 12.911 meninggal),  Kemudian disusul Spanyol (141.942 kasus positif, 14.045 meninggal), ketiga Italia (135.586 kasus positif, 17.127 meninggal). Di Indonesia sendiri jumlah pasien yang terinveksi COVID-19 telah mencapai 2.956 pasien, dengan jumlah kematian berjumlah 222 orang. Tingginya angka pasien yang terinveksi serta jatuhnya korban jiwa tentu memicu kepanikan global. Saham-saham di seluruh dunia banyak yang rontok, harga gula pasir di dekat tempat tinggal saya harganya sudah mencapai Rp. 20.000/Kg, begitupun kebutuhan lain seperti jahe, ember yang telah dilengkapi keran, bahkan telur juga harganya ikut naik akibat kepanikan ini. Jangan ditanya bagaimana kenaikan harga alat kesehatan, mulai dari sabun cair, alcohol, sandhanitizer disinfektan, masker serta perlengkapan perlindungan diri bagi tenaga medis atau APD.

sumber : okezone.news

Di era ekonomi dimana invisiblehand lebih dipercayai dalam menentukan harga barang ketimbang lembaga yang memiliki otoritas ini tentu sangat riskan ketika menghadap kepanikan global. Harga telur misalnya, bisa naik harga dalam semalam sampai 150% dan kemudian besoknya normal kembali. Mereka yang melihat kondisi sedang menguntungkan akan memanfaatkan situasi guna keuntungan pribadi. Masker yang harga normalnya Rp. 3000 naik hingga 500% menjadi Rp. 15.000. teori invisiblehand yang menyatakan bahwa harga barang akan sesuai dengan harga permintaan benar-benar menjadi kutukan bagi ummat manusia, lebih-lebih di tangan pedagang yang tak memiliki rasa kemanusiaan.

Rasa kemanusiaan juga seperti sudah terkubur oleh kebodohan sekelompok masyarakat yang menolak pemakaman korban meninggal akibat COVID-19 di daerahnya. Batu dan kayu pun menjadi alat penghalau mobil jenazah yang mengangkut korban serta para tim medis di dalamnya. Masyaraat kita yang ramah kinai dibakar amarah, masyarakat yang ramah senyum kini tak menghargai suasana berkabung, kita yang dikenal sebagai bangsa gotong royong kini enggan menolong. Apakah ini menjadi bukti ramalan Seokarno bahwa musuh terbesar kita saat ini melawan anak bangsa? Apakah anak bangsa yang dimaksud adalah yang sudah tak lagi memiliki rasa kemanusiaan?. Rasa persatuan?, rasa persaudaraan? Jika memang alasan kita untuk menjadi bangsa yang merdeka dulu adalah rasa senasib sepenanggungan, lalu apakah saat ini dengan  egoisme kita dapat memenangkan peperangan dengan makhluk tak kasat mata ini?.

Saya berkesimpulan bahwa Indonesia pasca badai COVID-19 nanti adalah Indonesia yang harus didefenisikan kembali, yaitu bukan saja sebuah negara di antara benua Asia dan benua Australia yang menjadikan  pancasila sebagai falsafahnya saja, tapi yang sudah menjadikan pancasila dengan nilai katuhanannya, nilai kemanusiaannya, nilai kebijaksanaannya, nilai keadilannya, nilai persatuannya telah menubuh bersama segenap rakyatnya. Dengan begitu, seribu cobaan yang akan dihadapi oleh bangsa ini akan siap kita hadapi bersama.