Oleh : Abdul A. Siolimbona
Sejak awal tahun 2020 masyarakat
di seluruh dunia dihantui kecemasan akibat munculnya virus yang cukup mematikan
yang oleh WHO disebut COVID-19 (corona
Virus Desease-2019). Virus ini dianggap sebagai momok menakutkan karena
korban yang berjatuhan akibat terinveksi olehnya tak pandang bulu. Baik orang
kulit putih atau kulit merah, orang kaya ataupun kaum papa, kaum religius
maupun ateis, orang medis atau non medis, semua tak luput dari ancamannya. Tak menunggu
lama lagi, penyebaran virus ini dikategorikan sebagai pandemic karena penyebarannya
begitu luas. Hingga tulisan ini dibuat, angka kematian di seluruh dunia akibat
COVID-19 telah menyentuh angka 1.434.825 orang. Demikian seperti dimuat tirto.id merujuk kepada rilis yang dikeluarkan oleh Worldometers. Tak ayal
negara paling borjuis sampai negara paling proletar dibuat kewalahan menghadapi
penyebaran virus yang masih satu family dengan virus penyebab MERS dan SARS
ini.
Sampai detik ketika anda membaca
tulisan ini, Amerika menempati peringkat tertinggi sebagai negara dengan korban
terbanyak (399.929 kasus positif, 12.911 meninggal), Kemudian disusul Spanyol (141.942 kasus
positif, 14.045 meninggal), ketiga Italia (135.586 kasus positif, 17.127
meninggal). Di Indonesia sendiri jumlah pasien yang terinveksi COVID-19 telah
mencapai 2.956 pasien, dengan jumlah kematian berjumlah 222 orang. Tingginya angka
pasien yang terinveksi serta jatuhnya korban jiwa tentu memicu kepanikan
global. Saham-saham di seluruh dunia banyak yang rontok, harga gula pasir di
dekat tempat tinggal saya harganya sudah mencapai Rp. 20.000/Kg, begitupun
kebutuhan lain seperti jahe, ember yang telah dilengkapi keran, bahkan telur
juga harganya ikut naik akibat kepanikan ini. Jangan ditanya bagaimana kenaikan
harga alat kesehatan, mulai dari sabun cair, alcohol, sandhanitizer disinfektan,
masker serta perlengkapan perlindungan diri bagi tenaga medis atau APD.
sumber : okezone.news
Di era ekonomi dimana invisiblehand lebih dipercayai dalam
menentukan harga barang ketimbang lembaga yang memiliki otoritas ini tentu
sangat riskan ketika menghadap kepanikan global. Harga telur misalnya, bisa
naik harga dalam semalam sampai 150% dan kemudian besoknya normal kembali. Mereka
yang melihat kondisi sedang menguntungkan akan memanfaatkan situasi guna
keuntungan pribadi. Masker yang harga normalnya Rp. 3000 naik hingga 500%
menjadi Rp. 15.000. teori invisiblehand
yang menyatakan bahwa harga barang akan sesuai dengan harga permintaan
benar-benar menjadi kutukan bagi ummat manusia, lebih-lebih di tangan pedagang
yang tak memiliki rasa kemanusiaan.
Rasa kemanusiaan juga seperti
sudah terkubur oleh kebodohan sekelompok masyarakat yang menolak pemakaman
korban meninggal akibat COVID-19 di daerahnya. Batu dan kayu pun menjadi alat
penghalau mobil jenazah yang mengangkut korban serta para tim medis di
dalamnya. Masyaraat kita yang ramah kinai dibakar amarah, masyarakat yang ramah
senyum kini tak menghargai suasana berkabung, kita yang dikenal sebagai bangsa
gotong royong kini enggan menolong. Apakah ini menjadi bukti ramalan Seokarno
bahwa musuh terbesar kita saat ini melawan anak bangsa? Apakah anak bangsa yang
dimaksud adalah yang sudah tak lagi memiliki rasa kemanusiaan?. Rasa persatuan?,
rasa persaudaraan? Jika memang alasan kita untuk menjadi bangsa yang merdeka
dulu adalah rasa senasib sepenanggungan, lalu apakah saat ini dengan egoisme kita dapat memenangkan peperangan
dengan makhluk tak kasat mata ini?.
Saya berkesimpulan bahwa Indonesia
pasca badai COVID-19 nanti adalah Indonesia yang harus didefenisikan kembali,
yaitu bukan saja sebuah negara di antara benua Asia dan benua Australia yang
menjadikan pancasila sebagai falsafahnya
saja, tapi yang sudah menjadikan pancasila dengan nilai katuhanannya, nilai
kemanusiaannya, nilai kebijaksanaannya, nilai keadilannya, nilai persatuannya
telah menubuh bersama segenap rakyatnya. Dengan begitu, seribu cobaan yang akan
dihadapi oleh bangsa ini akan siap kita hadapi bersama.