Pesisir merupakan
daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat meliputi bagian daratan,
baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut
seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah
laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang
terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang
disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan
pencemaran (Soegiarto, 1976; Dahuri et al, 2001).
Pengelolaan wilayah
peisisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan pesisir yang
melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya, kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan
wilayah pesisir secara berkelanjutan. Dalam konteks ini, keterpaduan (integration) mengandung tiga dimensi :
sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis.
Keterpaduan secara
sektoral berarti bahwa perlu ada kordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab
antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat pemerintah terpadu (horizontal integration) ; dan antar tingkat pemerintah dari mulai
tingkat desa, kecamatan, kabupaten propinsi, sampai tingkat pusat (vertical integration).
Seperti diuraikan
diatas, bahwa wilayah pesisir pada dasarnya tersusun dari berbagai macam
ekosistem (mangroves, terumbu karang, estuaria, pantai berpasir, dan lainnya)
yang satu sama lain saling terkait, tidak berdiri sendiri. Perubahan atau
kerusakan yang menimpa satu ekosistem akan menimpa pula ekosistem lainnya.
Selain itu wilayah pesisir juga dipengaruhi oleh berbagai macam kegiatan
manusia maupun proses-proses alamiah yang terdapat di lahan atas maupun laut
lepas. Kondisi empiris semacam ini mensyaratkan bahwa pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Lautan secara Terpadu (PWLT) harus memperhatikan segenap
keterkaitan ekologis tersebut, yang dapat mempengaruhi sauatu wilayah pesisir.
Mengingat bahwa suatu
pengelolaan terdiri dari tiga tahap utama : perencanaan, implemantasi,
omintorong, dan evaluasi, maka jiwa/nuansa keterpaduan tersebut perlu
diterapkan sejak tahap perencanaan sampai evaluasi.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor: KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir
Terpadu, Wilayah Pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara
ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil
dari garis pantai untuk propinsi dan sepertiga dari wilayah laut itu
(kewenangan propinsi) untuk kabupaten/kota dan ke arah darat batas administrasi
kabupaten/kota.
Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan
antara daratan dan lautan dimana batasnya dapat didefinisikan baik dalam
konteks struktur administrasi pemerintah maupun secara ekologis. Batas ke arah
darat dari wilayah pesisir mencakup batas
administratif seluruh desa (sesuai dengan ketentuan Direktorat
Jenderal Pemerintahan Umum dan otonomi Daerah, Depdagri) yang termasuk dalam
wilayah pesisir menurut Program Evaluasi Sumber Daya Kelautan (MERP). Sementara
batas wilayah ke arah laut suatu wilayah pesisir untuk keperluan praktis dalam
proyek MERP adalah sesuai dengan batas laut yang terdapat dalam peta Lingkungan
Pantai Indonesia (LPI) dengan skala 1:50.000 yang diterbitkan oleh Badan
Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), (Dahuri dkk.,1996).
Untuk dapat mencapai
tujuan yang didinginkan dalam pengelolaan dan pemanafaatan serta menjaga
keberlangsungan sumberdaya yang ada di wilayah pesisir, maka hal yang mutlak
diperlukan adanya pedoman pengelolaan untuk setiap komponen ekosistem wilayah di pesisir. Untuk itu dalam
bab ini akan diuraikan setiap permasalahan yang ada disetiap komponen ekosistem
serta pedoman yang akan digunakan dalam pengelolaannya.
Ekosistem Terumbu Karang
a.Permasalahan
Ekosistem terumbu
karang terdapat di lingkungan perairan yang agak dangkal, seperti paparan benua
dan gugusan pulau-pulau diperairan tropis. Untuk mencapai pertumbuhan maksimum,
terumbu karang memerlukan perairan yang jernih, dengan suhu perairan yang
hangat, gerakan gelombang yang besar, dan sirkulasi yang lancar serta terhindar
dari proses sedimentasi.
Oleh karena itu,
ekosistem terumbu karang serta biota yang berasosiasi dengan terumbu karang
tersebut sangat sensitif terhadap berbagai hal seperti : (1) aliran air tawar
yang berlebihan yang dapat menurunkan nilai salinitas perairan; (2) beban
sedimen yang dapat mengganggu biota yang mencari makan melalui roses
penyaringan (filter feeding); (3)
suhu ekstrim, yaitu suhu diluar batas suhu toleransi terumbu karang; (4) polusi
seperti biosida dari aktifitas pertanian yang masuk ke perairan lokal; (5)
kerusakan terumbu, seperti yang diakibatkan oleh badai siklon dan jangkar
perahu; dan (6) beban nutrien yang berlebihan yang menyebabkan berkembangnya alga
secara berlebihan sehingga dapat menutupi dan membunuh organisme koral atau
timbulnya blooming dari fitoplankton
yang dapat menghalangi penetrasi sinar matahari sehingga tingkat fotosintesis
dari koral menjadi menurun.
b. Pedoman Pengelolaan
Ekosistem terumbu
karang memiliki kemampuan yang baik dalam memperbaiki sendiri bila terjadi
kerusakan dan memperbaharui bagian yang rusak, bila karakteristik habitat dari
berbagai macam formasi terumbu karang dan faktor lingkungan yang
mempengaruhinya terpelihara dengan baik. Namun bagaimanapun juga, tekanan
terhadap keberadaan terumbu karang banyak diakibatkan oleh kegiatan manusia,
sehingga perlu dilakukan langkah-langkah prefentif. Hal tersebut merupakan
hasil dari kegiatan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir yang baik dengan
cara mengidentifikasi tingkat kerawanan dari terumbu karang. Beberapa langkah
pengelolaan terumbu karang dapat dilakukan seperti yang ada di bawah ini :
1. Jangan melakukan pengerukan atau aktifitas lainnya
yang menyebabkan teraduknya sedimen sehingga membuat air menjadi keruh. Jika
hal ini tidak memungkinkan, maka upaya-upaya untuk menahan sedimen perlu
dilakukan (misalnya penyaringan sedimen) dan melakukan program monitoring
sebagai tindak lanjut dari peraturan kegiatan penambangan untuk mendapatkan
standar kualitas air yang dapat diterima.
2. Hindarkan pencemaran dan peningkatan nutrien ke
dalam ekosistem terumbu karang. Penempatan lokasi industri yang jauh dari zona
terumbu karang dapat meminimalkan resiko
terjadinya pencemaran. Demikian pula pembuangan limbah cair di tengah laut
tidak diizinkan karena dapat mempengaruhi areal terumbu karang. Pengecualian
apabila industri yang dimaksud melakukan pengelolaan limbah, kolam pengendapan
dan pendinginan untuk kemudian dibuang di tengah laut dan saluran pembuangan.
3.
Hindari perubahan suhu air di luar ambang batas.
Untuk menjaga kisaran suhu yang dapat ditolerir, air buangan dengan suhu tinggi
tidak boleh masuk ke areal terumbu karang. Penurunan salinitas terhadap terumbu
karang. Penurunan salinitas terhadap terumbu karang diperburuk oleh limpahan
air tawar pada waktu tertentu lebih tinggi dari air laut. Penampungan air
limbah pada kolam-kolam pendingin hingga suhu mencapai ambang yang ditentukan
merupakan salah satu solusi terhadap permasalahan ini.
4. Melakukan pemantauan ekosistem terumbu karang untuk
mengetahui perkembangan kondisi terumbu karang tersebut.
Ekosistem Hutan Mangrove
a.
Permasalahan
Mangrove dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal
dalam kondisi dimana terjadi penggenangan dan sirkulasi air yang menyebabkan
pertukaran dan pergantian sedimen secara terus menerus. Sirkulasi yang tetap
(terus menerus) meningkatkan pasokan oksigen dan nutrien, untuk keperluan
respirasi dan produksi yang dilakukan oleh tumbuhan. Perairan dengan salinitas
yang rendah akan menghilangkan garam-garam dan bahan-bahan alkalin, mengingat
air yang mengandung garam dapat menetralisir keasaman tanah. Mangrove dapat
tumbuh pada berbagai macam substarat (tanah berpasir, tanah lumpur, tanah
lempung, tanah berbatu, dan sebagainya). Mangrove tumbuh pada berbagai jenis
substrat yang bergantung pada proses pertukaran air untuk memelihara
pertumbuhan mangrove.
Secara umum hutan mangrove dan ekosistem mangrove
cukup tahan terhadap berbagai gangguan dan tekanan lingkungan. Namun demikian,
mangrove tersebut sangat peka terhadap pengendapan atau sedimentasi, tinggi
rata-rata permukaan air, pencucian serta tumpahan minyak. Keadaan ini
mengakibatkan penurunan kadar oksigen dengan cepat untuk kebutuhan respirasi,
dan menyebabkan kematian mangrove. Perubahan faktor-faktor tersebut yang
mengontrol pola salinitas substrat dapat menyebabkan perubahan komposisi
spesies; salinitas yang lebih dari 90 ppt dapat mengakibatkan kematian biota
dalam jumlah yang besar. Perubahan salinitas dapat diakibatkan oleh perubahan
siklus hidrologi, aliran air tawar dan pencucian terus menerus seperti kegiatan
pengerukan, bendungan dan penyekatan.
Permasalahan utama tentang pengaruh atau tekanan
terhadap habitat mengrove bersumber dari keinginan manusia untuk mengkonversi
areal hutan mangrove menjadi areal pengembangan perumahan, kegiatan-kegiatan
komersil, industri dan pertanian.
b.
Pedoman
Pengelolaan
Pada kondisi khas di zona pasang surut di daerah
tropis, magrove mempunyai kemampuan untuk tumbuh dengan cepat, membentuk
struktur hutan yang kompleks dan memiliki produktivitas yang tinggi. Namun
ekosistem ini sangat sensitif terhadap faktor-faktor seperti sirkulasi air,
salinitas dan aspek fisika-kimia dari substrat hidupnya. Konservasi ekosistem
dan sumberdaya di dalamnya dapat dicapai dengan mencegah terjadinya
perubahan-perubahan nyata dari faktor-faktor tersebut di atas. Penting untuk
diperhatikan bahwa banyak hal yang dapat merubah faktor-faktor tersebut,
berasal dari luar ekosistem mangrove. Karenanya, konservasi dan pemanfaatan
mangrove tergantung sepenuhnya dengan perencanaan yang terintegrasi dengan
mempertimbangkan kebutuhan ekosistem mangrove. Usulan pengembangan dan kegiatan
insidentasi yang mempengaruhi ekosistem mangrove hendaknya mencerminkan
perencanaan dan pengelolaan sebagai berikut :
1. Peliharalah dasar dan karakter substrat hutan dan
saluran-saluran air. Sebab substrat memegang peranan yang sangat penting bagi
kelangsungan hutan mangrove. Proses-proses seperti sedimantasi berlebihan,
erosi, pengendapan sampai perubahan sifat-sifat kimiawi (seperti kesuburan)
harus dapat dihindari.
2. Jaga kelangsungan pola-pola alamiah; skema aktifitas
siklus pasang surut serta limpahan air tawar. Untuk struktur pesisir dan pola
pengembangan yang berpotensi untuk mengubah pola-pola alami tersebut, harus
didesain untuk menjamin bahwa pola tersebut tetap terpelihara.
3. Peliharalah pola-pola temporal dan spasial alami
dari salinitas air permukaan dan air tanah. Pengurangan air tawar akibat
perubahan aliran, pengambilan atau pemompaan air tanah seharusnya tidak
dilakukan apabila menganggu keseimbangan salinitas di lingkungan pesisir.
Salinitas juga mempengaruhi komponen-komponen lainnya dalam wilayah pesisir
termasuk manusia.
4. Peliharalah keseimbangan alamiah antara pertambahan
tanah, erosi dan sedimentasi. Kegiatan di wilayah pesisir termasuk konstruksi
sangat potesial untuk mengubah keseimbangan antara pertumbuhan dan erosi.
Kegiatan seperti itu harus dievaluasi terutama potensi dampaknya terhadap hutan
mangrove sebelum diimplementasikan.
5. Tetapkan batas maksimum untuk seluruh hasil penen
yang dapat diproduksi. Kecenderungan saat ini adalah memaksimalkan hasil panen
untuk mencapai keuntungan jangka pendek tanpa memperhitungkan keuntungan jangka
panjang. Plotkan rencana kerja berdasarkan perencanaan yang mantap untuk
menjamin keberlanjutan (kesinambungan) ekosistem.
6.
Pada daerah-daerah yang meungkin terkena dampak dari
tumpahan minyak dan bahan beracun lainnya, harus memiliki rencana-rencana
penanggulangan.
7. Hindarkan semua kegiatan yang mengakibatkan
pengurangan (impound) areal mangrove.
Penghentian sirkulasi air permukaan mengakibatkan kematian hutan mangrove.
Ekosistem Padang Lamun
a.
Permasalahan
Syarat dasar habitat padang lamun adalah perairan
yang dangkal, memiliki substarat yang lunak dan perairan yang cerah. Syarat
lainnya adalah adanya sirkulasi air yang membawa bahan nutrien dan substrat
serta membawa pergi dan sisa-sisa metabolisme. Di beberapa daerah, padang lamun
dapat tumbuh, namun tidak dapat berkembang dengan baik karena tidak terlindung
pada saat air surut. Karena membutuhkan intensitas cahaya yang cukup tinggi,
padang lamun tidak dapat tumbuh di kedalaman lebih dari 20 m, kecuali perairan
tersebut sangat jernih dan transparan.
Permasalahan utama yang mempengaruhi padang lamun di
seluruh dunia adalah kerusakan padang lamun akibat kegiatan pengerukan dan
penimbunan yang terus meluas dan pencemaran air termasuk pembuangan limbah
garam dari kegiatan desalinasi dan fasilitas-fasilitas produksi minyak,
pemasukan pencemaran di sekitar fasilitas industri, dan limbah air panas dari
pembangkit tenaga listrik. Kehilangan padang lamun ini hanya dicatat oleh
nelayan setetmpat, karena tidak seperti mangrove dan terumbu karang komunitas
padang lamun tidak nampak nyata.
Berbagai jenis spesies padang lamun mengalami
kerusakan akibat kegiatan reklamasi/penimbunan pantai baik untuk keperluan
industri maupun pembangunan pelabuhan. Kegiatan reklamasi untuk keperluan
perluasan industri dan pelabuhan telah mengurangi luas areal padang lamun. Hal
ini seperti yang terjadi di Teluk Banten dimana telah mengurangi areal padang
lamun seluas 25 ha. Hilangnya sebagian padang lamun ini akan mempengaruhi biota
yang hidup dan mencari makan di ekosistem tersebut.
b.
Pedoman
Pengelolaan
Padang lamun dan hewan yang berasosiasi dengannya
memiliki kemampuan alamiah untuk bertahan hidup dan hidup pada kondisi normal,
atau sesuai dengan kondisi ingkungannya yang khas. Pedoman pengelolaan
merupakan kebutuhan dasar yang diperlukan untuk mempertahankan kondisi
tersebut. Oleh karena, tindakan-tindakan yang dilakukan di wilayah pesisir
harus mempertimbangkan dan memasukkan pedoman-pedoman sebagai berikut :
1. Pengerukan dan penimbunan harusnya dihindari pada
lokasi yang didominasi oleh padang lamun. Apabila kegiatan seperti ini
dilaksanakan pada areal yang berdekatan dengan lokasi padang lamun, sebaiknya
dijaga agar tidak terjadi pengaliran endapan ke dalam lokasi padang lamun. Hal
ini dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti memasang penghalang lumpur dan
dengan strategi pengerukan yang menjamin adanya mekanisme yang membuat
sirkulasi air dan arus pasang surut dapat membawa endapan untuk menjauhi daerah
padang lamun.
2. Usulan pembangunan di wilayah pesisir (seperti
pelabuhan, dermaga/jetty) yang mengubah pola sirkulasi air seharusnya didesain
untuk menghindari atau meminimalkan setiap erosi atau penumpukkan di setiap
erosi atau penumpukkan di sekitar daerah padang lamun. Struktur desain yang
nyata seharusnya didasarkan pada keadaan lokal yang spesifik.
3. Prosedur pembuangan limbah cair seharusnya
diperbaharui dan dimodifikasi sesuai kebutuhan untuk mencegah limbah yang
merusak masuk ke dalam daerah padang rumput. Limbah tersebut seperti limbah
industri, limbah air panas, limbah garam, air buangan dari kapal, dan limpasan
air. Pada umumnya solusi alternatif tersebut diantaranya termasuk pemilihan
lokasi pipa pembuangan.
4. Penangkapan ikan dengan trawl dan kegiatan
penangkapan lainnya yang merusak seharusnya dimodifikasi untuk meminimalkan
pengaruh buruk terhadap padang lamun selama operasi penangkapan.
5. Skema-skema pengalihan air yang dapat merubah
tingkat salinitas alamiah harus dipertimbangkan akibatnya terhadap komunitas
padang lamun dan biota-biota yang berasosiasi dengannya. Pengaturan yang tepat
terhadap jadwal pelepasan air dapat menjaga tingkat salinitas dalam kisaran
yang diinginkan.
6. Lakukan tindakan untuk mencegah tumpahan minyak
mencemari komunitas padang lamun. Hal ini dapat dicapai dengan melakukan
pengukuran, program monitoring dan rencana untuk menanggulangi kemungkinan
terjadinya tumpahan minyak.
7.
Inventarisasi, identifikasi dan pemetaan sumberdaya
padang lamun, sebelum berbagai jenis proyek dan aktifitas dilakukan di lokasi
tersebut.
8. Rekonstruksi padang lamun di perairan dekat tempat
yang sebelumnya ada di padang lamun, atau membangun padang lamun baru dilokasi
yang tidak ada lamunnya untuk mengganti lamun alami di suatu tempat.
Ekosistem Estuaria
a. Permasalahan
Tingginya tingkat
pemanfaatan di daerah estuaria menimbulkan berbagai dampak lingkungan seperti
hilangnya sumberdaya estuaria. Pengembangan sumberdaya estuaria yang dilakukan
secara tidak terencana telah mengakibatkan berbagai dampak baik yang
berlangsung dalam waktu yang singkat maupun dalam jangka lama, seperti kerugian
ekonomi (Opportinity Cost).
Salah satu penyebab
utama terjadinya degradasi ekosistem estuaria adalah akibat penggunaannya
sebagai daerah pembuangan limbah secara terus menerus. Disamping terjadinya
kematian ikan secara tiba-tiba dan berbagai efek dramatis lainnya, pencemaran
juga menyebabkan degradasi yang terus menerus yang kemudian diikuti oleh hilangnya ikan
dan kerang-kerangan atau menurunnya daya dukung dari ekosistem (carrying capacity). Sebagai bahan
pencemar tersebut adalah bahan-bahan kimia dan organik. Zat-zat ini menyebabkan
lingkungan menjadi tidak bersahabat, sehingga ikan-ikan berpindah dan
menghambat reproduksi kerang-kerangan atau dengan kata lain memutuskan mata
rantai makanan.
Meningkatnya penggunaan
perairan sebagai sarana pengangkutan minyak, bahan-bahan kimia dan berbagai
bahan beracun lainnya, baik melalui kapal, bargas jaringan pipa penyaluran,
ataupun kereta api menimbulkan ancaman terhadap ekosistem ini. Fenomena ini
sangat jelas terlihat pada estuaria dan laguna yang mempunyai arus
lemah/lambat.
Masalah utama lainnya
yang dapat meningkatkan ancaman terhadap kelestarian ekosistem ini adalah
berkurangnya dan atau terjadinya pembelokkan aliran sungai di hulu. Ketika terjadi
perubahan beberapa daerah aliran sunga (DAS) perairan pesisir, pola arus ikut
bertambah pula, akibatnya estuaria akan terbebani air tawar. Hal ini tidak saja
mengganggu ekosistem, tetapi juga meningkatkan tingkat bahaya banjir. Daerah estuaria
yang paling tertutup (terutama laguna) memerlukan perlindungan yang maksimal,
berupa adanya daerah penyangga di bagian hulu; pengendalian aliran limbah dan
saluran drainase; penanggulangan longsor, dan biosida dari daratan; pembatasan
lokasi industri dan lain sebagainya.
Selain itu,
kebanyakan organisme estuaria merupakan organisme yang rentan. Hal ini
disebabkan organisme estuaria banyak yang hidup di dekat batas-batas
toleransinya. Sehingga apabila terjadi perubahan faktor-faktor lingkungan di
perairan estuaria seperti suhu, salinitas dan oksigen akan sangat mengganggu
organisme tersebut.
Di beberapa daerah
kondisi estuaria sudah sangat mengkhawatirkan, terutama pada daerah-daerah
industri, perkotaan atau padat penduduk hal ini berarti telah mengancam keberlanjutan ekosistem estuaria dalam
menopang kehidupan manusia dan pembangunan. Beberapa kerusakan ekosistem
estuaria tersebut adalah terjadinya sedimentasi yang berlebihan, perubahan pola
aliran dan regim salinitas, pencemaran ataupun over ekploitasi sumberdaya alam.
b. Pedoman Pengelolaan
Ekosistem estuaria
memiliki kemampuan pemeliharaan dan pemulihan secara alami yang luar biasa
(misalnya setelah mengalami gangguan), bila karakter dasar habitat yang
menyokong formasi ekosistem tersebut terpelihara. Namun demikian, ekosistem
estuaria dihadapkan pada kondisi yang cukup riskan oleh faktor-faktor yang
secara permanen mempengaruhinya seperti salinitas, suhu dan siklus
nutrien.konservasi terhadap ekosistem tersebut dan sumberdaya yang ada di
dalamnya dapat dicapai dengan mencegah terjadinya perubahan-perubahan yang
mencolok pada faktor-faktor yang telah disebutkan. Hal yang terpenting untuk
diketahui adalah adanya kekuatan lain di luar ekosistem estuaria yang dapat
mempengaruhi faktor-faktor tersebut seperti kegiatan-kegiatan pertanian di
lahan atas dan perubahan aliran sungai (DAS). Karena itu, konservasi terhadap
ekosistem estuaria dan pemanfaatannya sangat tergantung pada perencanaan dan
pengeloaan secara terpadu yang mencakup daerah hulu. Berdasarkan pemikiran di
atas, pedoman berikut dapat dijadikan syarat minimal dalam pemeliharaan dan
kelangsungan laguna dan ekosistem estuaria dan pemanfaatan tingkat tinggi
adalah :
1. Penerapan teknologi
secara maksimal dari pengolahan limbah baik untuk limbah industri maupun limbah
industri yang dibuang ke dalam laguna dan perairan estuaria. Bentuk geografis
dari laguna dan estuaria menyebabkan sirkulasi air yang terbatas sehingga mudah
tercemari oleh limbah industri. Melalui penerapan teknologi, hampir semua jenis
limbah domestik maupun industri dapat diolah secara efektif. Oleh karena itu,
tidak dibenarkan adanya kendala teknik yang membolehkan ketiadaan pengolah
limbah tersebut. Alternatif pemecahann lainnya, yaitu limbah sesekali dipompa
ke perairan lepas pantai dan disebarkan secara aman ke perairan samudera yang
lebih dalam. Kedua cara tersebut sangat mahal dan karenanya membutuhkan
pengorbanan yang cukup besar, tetapi hampir pada semua kasus, biaya yang
dibutuhkan dapat dibenarkan dalam perhitungan jangka panjang.
2. Fasilitas industri
yang berpotensi tinggi mengganggu ekosistem estuaria dan laguna, mestinya
dijauhkan dari daerah tersebut. Industri-industri dengan keluaran limbah cukup
tinggi seperti pembangkit linstrik (power
plant) yang membutuhkan air sangat banyak dari estuaria, industri kimia
yang mempunyai limbah toksik berbahaya dan pangkalan minyak seharusnya tidak
berlokasi di estuaria yang lebih sempit dan memiliki sirkulasi air yang kurang
baik. Bila tidak ada alternatif lain dan jika tetap didirikan di daerah
estuaria, industri-industri tersebut akan membutuhkan fasilitas pengolahan
limbah yang ekstensif.
3. Dibutuhkan pemeriksaan terhadap limpasan
air akibat hujan lebat dan sumber-simber polusi lainnya. Hujan lebat terkadang
lebih bersifat polutan daripada limbah selama 25 mm pertama setiap hujan turun.
Sumber-sumber polusi tersebar yang mempengaruhi laguna dan estuaria adalah
septik tank, tempat pembuangan sampah rumah tangga, dan tempat pembuangan sampah dan
minyak dari kapal. Sumber-sumber tersebut mungkin menyebabkan eutrofikasi yang
serius dimana polutan terkonsentrasi di badan perairan estuaria yang sifatnya
tertutup pengendapan, pengolahan atau pemompaan ke perairan lepas merupakan
alternatif pemecahan yang mungkin dilakukan.
4. Menghindari
terhambatnya sirkulasi air. Bangunan yang didirikan di laguna dan estuaria
seperti dermaga, dok, konstruksi jembatan harus didesain sedemikian rupa
sehingga tidak mengganggu aliran air. Sedangkan pemecahannya adalah
menghindarkan lokasi bangunan pada titik kritis di daerah estuaria dimana
aliran arus yang terpenting dapat dipengaruhi, atau bila bangunan tetap
didirikan di lokasi estuaria, bangunan tersebut harus diangkat pada pilar atau
tidak dibangun pada tempat yang dipadatkan.
5. Berhati-hati dalam
penggalian atau pembuangan hasil pengerukan. Seleksi lokasi untuk pembuangan
atau penyimpanan hasil kerukan untuk menghindari efek negarif di daerah habitat
penting seperti padang lamun, terumbu karang, habitat bivalva dan habitat dasar
yang produktif. Waktu dan penggalian harus dikontrol untuk mengurangi
tersebarnya bahan galian ke dalam daerah produktif.
Sumber : Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu, Rokhmin Dahuri dkk, Pradnya Paramita, Jakarta 1996