Jumat, 24 Juli 2020

TAHUN POLITIK DAN MASA DEPAN NELAYAN MALUKU

Hasil Tangkapan Nelayan Maluku (Sumber : Jatimnet.com)

 Oleh: Abdul Ajiz Siolimbona, S.Pi, M.Si

Tahun 2020 ini merupakan tahun politik yang krusial bagi Indonesia. dianggap krusial karena di 270 Kabupaten/Kota se-Indonesia akan dilakukan pemilihan kepala daerah baru pada tanggal 9 Desember 2020 nanti. Pesta demokrasi guna memilih orang nomor wahid di setiap kabupaten/kota tersebut diselenggarakan dari Sumatera hingga Papua. Di Provinsi Maluku sendiri akan terjadi pemilihan kepala daerah di 4 kabupaten, yakni Kabupaten Kepualauan Aru, Kabupaten Maluku Barat Daya, Kabupaten Seram Bagian Timur dan Kabupaten Buru Selatan.
Tentu publik menaruh harapan besar pada setiap moment pergantian kepala daerah tersebut. Kebijakan yang selama ini dianggap tidak tepat, tak menyentuh masalah secara substantif serta tak memberikan dampak nyata terhadap masyarakat akan berganti menjadi lebih baik dengan bergantinya kepala daerah. Begitupun sebaiknya, kepala daerah yang oleh masyarakat dianggap sudah bekerja dengan baik, menyelesaikan masalah daerah secara substantif serta mampu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat diharapkan akan terpilih lagi sehingga akan melanjutkan kinerja postifnya pada periode kedua.
Namun di sisi lain, tak bisa dinafikan bahwa banyak juga masyarakat yang merasa pesimis, hal ini terbukti dengan semakin meningkatnya angka golput dari tahun ke tahun sehingga pada tahun 2004 angka golput sebesar 23,24%, 27,45% di tahun 2009 dan 30,42% pada 2014. Namun angka golput akhirnya menurun drastis di tahun 2019  yang hanya mencapai 19,24% (LSI, 2019). Bisa jadi di tahun 2019 adalah prestasi terbesar KPU dalam hal menurunkan angka golput di Indonesia.
Ada beberapa alasan yang mengemuka sehingga masyarakat menjadi enggan untuk berpartisipasi dalam momentum pemilihan umum, salah satunya meningkatnya ketidakpercayaan publik terhadap partai politik karena dianggap tidak bekerja untuk kepentingan masyarakat kelas bawah (grassroot), namun hanya mementingkan keuasaan. Selain itu, masih tingginya angka kemiskinan juga menjadi alasan memudarnya harapan pada sosok yang mewakili partai tertentu. Di Indonesia sendiri, kemiskinan sampai saat ini masih didominasi oleh masyarakat pesisir yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Pada 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan angka kemiskinan di Indonesia mencapai 9,41 %. Maluku sendiri tetap bertahan menjadi Provinsi termiskin ke-4 di Indonesia dengan jumlah 317.690 orang atau 17,69% dari total jumlah penduduk di Provinsi Maluku (melebihi presentase kemiskinan nasional). Jika Maluku sebagai perovinsi yang mayoritas desanya adalah desa pesisir menjadi provinsi termiskin ke-4 maka sudah bisa dipastikan angka kemiskinan nelayan di Maluku cukup tinggi. Padahal secara nasional, 80% dari kebutuhan ikan dalam negeri disuplai oleh nelayan kecil.
Nelayan menjadi komoditas politik
Di Indonesia, sudah sering kita lihat para politisi yang ramai-ramai melakukan pencitraan menjelang pemilihan umum demi meningkatkan tingkat elektabilitasnya. Hal ini tentu berkaitan dengan desain pesan yang ingin disampaikan kepada calon pemilih (voter). Struktur sosial yang terlanjur menempatkan nelayan berada di lapisan paling bawah bersama golongan masyarakat petani menjadikan mereka sangat rentan dieksploitasi demi meraih kemenangan pada sebuah kontestasi politik. Masyarakat nelayan yang selalu berada pada kondisi lemah dan tak berdaya seakan berubah menjadi ‘primadona’ ketika moment politik tiba. Tak jarang kita lihat para calon kepala daerah, calon anggota legislatif bahkan calon presiden yang sedang berkontestasi, memilih untuk berpose bersama nelayan atau bahkan berdandan layaknya nelayan demi menyampaikan pesan politik kepada para calon pemilih bahwa dia dalah bagian daripada masyarakat bawah. Hal ini tentu bertujuan untuk menaikkan elektabilitasnya di mata publik saat moment pemilihan tiba. Namun yang menjadi ironi adalah seringkali pasca pemilihan umum, nelayan kembali ditelantarkan dan kebijakan yang dirumuskan tidak menyelesaikan persoalan kemiskinan nelayan.
Kebijakan pembangunan belum pro nelayan
Meskipun dalam beberapa tahun yang lalu, utamanya di saat Menteri Kelautan dan Perikanan masih djabat oleh Ibu Susi Puji Astuti, banyak pihak yang dibuat takjub dengan kebijakan Ibu Susi yang mengebom dan menenggelamkan kapal illegal yang tertangkap sedang beroperasi di Perairan Indonesia. Namun belakangan mulai banyak orang yang meyangsikan dampak kebijakan tersebut bagi peningkatan kapasitas ekonomi nelayan di Indonesia. Misalnya, ketika di satu sisi Ibu Susi menenggelamkan kapal guna meminimalisir angka illegal fishing oleh kapal asing demi menjaga kedaulatan laut dan menjaga keberlanjutan sumberdaya ikan (sustainability), namun di sisi lain menteri kelautan saat itu juga mengeluarkan larangan pengoperasian beberapa jenis alat tangkap ikan yang sebelumnya banyak digunakan oleh nelayan. Akibatnya, produktifitas hasil tangkapan nelayan terus mengalami penurunan. Hal ini semakin diperparah dengan buruknya tata kelola niaga perikanan di Indonesia yang masih cenderung merugikan nelayan. para pembeli seringkali lebih kuasa dalam penentuan harga ikan yang hendak dibeli. Selain itu mata rantai distribusi yang terlalu panjang mengakibatkan keuntungan nelayan semakin minim. Akibatnya, pelarangan terhadap alat tangkap tertentu, lemahnya posisi nelayan dihadapan para pembeli serta panjangnya mata rantai distribusi membuat nelayan semakin terjerembab dalam kubangan jurang kemiskinan. BPS pada 5 maret 2020 merilis, 52,94% nelayan di Indonesia memiliki Nilai Tukar Nelayan (NTN) di bawah 100 atau belum sejahtera. NTN adalah total pendapatan nelayan dari hasil perikanan dibagi total pengeluaran yang harus dikeluarkan oleh nelayan untuk kebutuhan konsumsi dan produksi. Untuk itu para kepala daerah yang nantinya terpilih diharapkan agar bisa membenahi tata niaga perikanan di wilayahnya masing-masing serta mengurangi mata rantai distribusi agar tidak terlalu banyak pedagang perantara yang akan berdampak pada semakin rendahnya harga hasil tangkapan.
Nelayan Maluku sejahtera(?)
Untuk mengukur tingkat kesejahteraan nelayan Maluku, kita bisa melihat tingkat NTN (Nilai Tukar  Nelayan). Masih berdasarkan data dari BPS pada 5 maret 2020 yang menyebutkan bahwa tingkat NTN provinsi Maluku adalah 105,04. Meskipun secara sepintas sudah masuk kategori sejahtera, namun dengan status Maluku sebagai pemilik pantai terpanjang di Indonesia yakni 10.630 km (11,17% dari total panjang garis pantai Indonesia) masih kalah dibandingkan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang memiliki NTN mencapai 106,61 dengan panjang garis pantai hanya 1200 km. Maluku juga kalah dibandingkan Provinsi Jambi yang memiliki NTN 106,73 dengan garis pantai hanya sepanjang 268 km. berdasarkan fakta tersebut maka Pemerintah Provinsi Maluku serta Pemerintah pusat harus terus mendorong pembangunan perikanan di Maluku.
Berdasarkan data Direktori perusahaan perikanan, pelabuhan perikanan, tempat pelelangan ikan (TPI) dan pangkalan pendaratan ikan (PPI) Provinsi Maluku tahun 2017, Jumlah Pelabuhan Perikanan di Maluku hanya berjumlah 3 buah yakni Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Tantui, Pelabuhan Perikanan Eri dan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Dumar. Tempat pelelangan ikan (TPI) di Maluku sampai saat ini belum ada yang aktif. Sedangkan untuk Pangkalan Pendarat Ikan (PPI) hingga tahun 2016 berjumlah 18, dimana hanya 3 yang aktif. Kondisi ini tentu sangat menyulitkan upaya pendataan aktifitas penangkapan ikan di Maluku. Maka kita patut bertanya bagaimana bisa NTN Provinsi Maluku dinyatakan di atas angka sejahtera sementara jumlah pelabuhan serta pangkalan pendaratan ikan banyak yang tidak aktif padahal ketidakaktifan itu membuat pendataan tak bisa maksimal dilakukan.
Paradoks OTODA
Otonomi daerah selain memberikan harapan bagi peningkatan kesejahteraan nelayan, seringkali justeru kembali menghadirkan kantong kemiskinan baru. Sudah menjadi rahasia umum bahwa program pemberian bantuan bagi nelayan seringkali tidak tepat sasaran, bahkan cenderung kontraproduktif. Pemberian bantuan oleh pemerintah daerah, baik di Maluku maupun di wilayah lain acap kali lebih mempertimbangkan relasi politik dalam konteks politik balas budi demi menjaga kantong suara (basis massa). Hal ini berdampak pada tidak efektifnya program bantuan bagi nelayan. Pada beberapa kasus, masyarakat yang berprofesi sebagai petani justeru mendapatkan bantuan alat tangkap. Sebaliknya, nelayan justeru mendapatkan bantuan bibit tanaman serta peralatan pertanian. Akibatnya, alat tangkap yang diberikan tidak dapat dioperasikan, atau malah dijual. Hal ini tentu berdampak pada tidak meningkatnya produkifitas sektor perikanan suatu daerah. Selain permasalahan tersebut, permasalahan lain terkait pembangunan perikanan yaitu proses pendataan yang sering direkayasa demi memberikan kesan positif terhadap kinerja pemerintah daerah. Implikasinya, kebijakan yang hendak dirumuskan sering tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya di lapangan.
Revolusi biru di Maluku sekarang juga
Peningkatan kesejahteraan nelayan di Maluku akan hanya menjadi angan jika kebijakan yang disusun hanya menyangkut infrastruktur tanpa melibatkan suprastruktur dan juga tidak melibatkan masyarakat di level grassroot. Saat ini armada kapal penangkap ikan di Maluku mayoritas didominasi oleh armada dengan kapasitas kurang dari 5 GT (Gross Tonage).  Tentu ini berdampak pada rendahnya tingkat produktifitas nelayan di Maluku. Pada tahun 2019, total penangkapan ikan di Maluku hanya mencapai 602,953 ton dari potensi perikanan tangkap Maluku sebesar 3.055, 504 ton/tahun, atau sekitar 20% yang mampu dimanfaatkan. Untuk itu bagi kepala daerah yang akan terpilih kedepan hendaknya pengambilan kebijakan dilakukan berdasarkan pendekatan menyeluruh yang memiliki dampak kepada semua lapisan masyarakat yang terkait dengan perikanan (Revolusi biru). tentu harus juga memiliki nilai keberlanjutan dan bukan hanya sekedar langkah-langkah yang berorientasi pada kepentingan politik elektoral semata.
Arif Satria pada tahun 2015 menawarkan revolusi biru dalam 3 model : Pertama, model teknokratik. Model ini berorientasi pada peningkatan kapasitas produksi dengan mengandalkan pengusaha besar di bidang perikanan serta padat modal. Namun model ini tidak memungkinkan untuk diterapkan di Indonesia mengingat usaha penangkapan ikan di Indonesia lebih didominasi oleh nelayan skala kecil dengan kapasitas di bawah 5 GT. Meskipun model ini pernah dipraktekkan di Peru, namun efek negatifnya adalah nelayan skala besar akan mematikan nelayan skala kecil dan tradisional. Kedua, model populis. Melalui metode ini fokus pengembangan perikanan lebih diarahkan pada usaha nelayan skala kecil. Filipina pernah menerapkan model ini, namun hasilnya tak mampu meningkatkan kapasitas produksi  akibat industrialisasi yang sangat minim. Aktifitas perdagangan hasil tangkapan hanya mengandalkan cara konvensional yang tidak memberikan dampak ekonomi berganda (multiplier effect). Ketiga,model tekno-populis. Yaitu model pengelolaan perikanan yang mengkombinasikan model teknokratik dan model populis. Hal ini dilakukan dengan cara tetap menjaga keberadaan pengusaha besar di bidang perikanan sembari juga meningkatkan kapasitas nelayan kecil. Agar tidak terjadi konflik terkait sumberdya ikan, maka nelayan dengan skala besar didorong untuk beroperasi di perairan lepas, sedangkan nelayan skala kecil dan tradisional beroperasi di wilayah perairan pantai. Hal ini sperti yang dipraktekkan oleh Jepang dan Norwegia yang berhasil menjadikan Norwegia sebagai eksportir ikan terbesar kedua di dunia dengan total niai ekspor 6, 94 milliar USD.
Di bidang pendidikan dan kebudayaan, pemerintah daerah sudah harus mendorong agar wawasan kemaritiman menjadi orientasi hidup. Masyarakat Maluku yang memiliki luas laut mencapai 92, 4% sudah harus menyadari bahwa sumber ekonomi sudah tidak lagi hanya bertumpu pada pala dan cengkeh tapi juga sumberdaya laut dan pesisir. Hal ini dapat dillakukan dengan menyusun kurikulum pendidikan berorientasi maritim sejak Sekolah Dasar (SD) hingga perguruan tinggi (PT).  Jika orientasi hidup orang Maluku sudah mengarah ke laut, maka masyarakat akan memanfaatkan laut secara maksimal. Sehingga ketika program lumbung ikan nasional (LIN) disahkan, masyarakat Maluku telah siap menyambutnya dan tidak menjadi penonton di negeri sendiri. Pada konteks kebudayaan, adanya budaya sasi laut yang telah menjadi kearifan lokal orang Maluku perlu dilindungi dengan peraturan daerah tentang adat (PERDA ADAT). Selama ini perda adat yang ada di Maluku hanya menegaskan status negeri-negeri adat beserta struktur pemerintahan adat yang ada, tanpa menyentuh lebih jauh upaya pelestarian kearifan lokal di Maluku. Di sinilah peran tanggung jawab kepala daerah yang nantinya terpilih jika memang ingin mewujudkan revolusi biru di bumi raja-raja. Semoga kita bisa mewujudkannya.


Rabu, 08 April 2020

Ancaman covid-19 ; Ujian rasa kemanusiaan kita



Oleh : Abdul A. Siolimbona

Sejak awal tahun 2020 masyarakat di seluruh dunia dihantui kecemasan akibat munculnya virus yang cukup mematikan yang oleh WHO disebut COVID-19 (corona Virus Desease-2019). Virus ini dianggap sebagai momok menakutkan karena korban yang berjatuhan akibat terinveksi olehnya tak pandang bulu. Baik orang kulit putih atau kulit merah, orang kaya ataupun kaum papa, kaum religius maupun ateis, orang medis atau non medis, semua tak luput dari ancamannya. Tak menunggu lama lagi, penyebaran virus ini dikategorikan sebagai pandemic karena penyebarannya begitu luas. Hingga tulisan ini dibuat, angka kematian di seluruh dunia akibat COVID-19 telah menyentuh angka 1.434.825 orang. Demikian seperti dimuat tirto.id merujuk kepada rilis yang dikeluarkan oleh Worldometers. Tak ayal negara paling borjuis sampai negara paling proletar dibuat kewalahan menghadapi penyebaran virus yang masih satu family dengan virus penyebab MERS dan SARS ini.

Sampai detik ketika anda membaca tulisan ini, Amerika menempati peringkat tertinggi sebagai negara dengan korban terbanyak (399.929 kasus positif, 12.911 meninggal),  Kemudian disusul Spanyol (141.942 kasus positif, 14.045 meninggal), ketiga Italia (135.586 kasus positif, 17.127 meninggal). Di Indonesia sendiri jumlah pasien yang terinveksi COVID-19 telah mencapai 2.956 pasien, dengan jumlah kematian berjumlah 222 orang. Tingginya angka pasien yang terinveksi serta jatuhnya korban jiwa tentu memicu kepanikan global. Saham-saham di seluruh dunia banyak yang rontok, harga gula pasir di dekat tempat tinggal saya harganya sudah mencapai Rp. 20.000/Kg, begitupun kebutuhan lain seperti jahe, ember yang telah dilengkapi keran, bahkan telur juga harganya ikut naik akibat kepanikan ini. Jangan ditanya bagaimana kenaikan harga alat kesehatan, mulai dari sabun cair, alcohol, sandhanitizer disinfektan, masker serta perlengkapan perlindungan diri bagi tenaga medis atau APD.

sumber : okezone.news

Di era ekonomi dimana invisiblehand lebih dipercayai dalam menentukan harga barang ketimbang lembaga yang memiliki otoritas ini tentu sangat riskan ketika menghadap kepanikan global. Harga telur misalnya, bisa naik harga dalam semalam sampai 150% dan kemudian besoknya normal kembali. Mereka yang melihat kondisi sedang menguntungkan akan memanfaatkan situasi guna keuntungan pribadi. Masker yang harga normalnya Rp. 3000 naik hingga 500% menjadi Rp. 15.000. teori invisiblehand yang menyatakan bahwa harga barang akan sesuai dengan harga permintaan benar-benar menjadi kutukan bagi ummat manusia, lebih-lebih di tangan pedagang yang tak memiliki rasa kemanusiaan.

Rasa kemanusiaan juga seperti sudah terkubur oleh kebodohan sekelompok masyarakat yang menolak pemakaman korban meninggal akibat COVID-19 di daerahnya. Batu dan kayu pun menjadi alat penghalau mobil jenazah yang mengangkut korban serta para tim medis di dalamnya. Masyaraat kita yang ramah kinai dibakar amarah, masyarakat yang ramah senyum kini tak menghargai suasana berkabung, kita yang dikenal sebagai bangsa gotong royong kini enggan menolong. Apakah ini menjadi bukti ramalan Seokarno bahwa musuh terbesar kita saat ini melawan anak bangsa? Apakah anak bangsa yang dimaksud adalah yang sudah tak lagi memiliki rasa kemanusiaan?. Rasa persatuan?, rasa persaudaraan? Jika memang alasan kita untuk menjadi bangsa yang merdeka dulu adalah rasa senasib sepenanggungan, lalu apakah saat ini dengan  egoisme kita dapat memenangkan peperangan dengan makhluk tak kasat mata ini?.

Saya berkesimpulan bahwa Indonesia pasca badai COVID-19 nanti adalah Indonesia yang harus didefenisikan kembali, yaitu bukan saja sebuah negara di antara benua Asia dan benua Australia yang menjadikan  pancasila sebagai falsafahnya saja, tapi yang sudah menjadikan pancasila dengan nilai katuhanannya, nilai kemanusiaannya, nilai kebijaksanaannya, nilai keadilannya, nilai persatuannya telah menubuh bersama segenap rakyatnya. Dengan begitu, seribu cobaan yang akan dihadapi oleh bangsa ini akan siap kita hadapi bersama.

Senin, 05 November 2018

Modernisme Cartesian dan Kerusakan Lingkungan

Konsep Ekologi yang Rapuh
Persoalan pengelolaan lingkungan adalah suatu persoalan yang sama tuanya dengan usia manusia di muka bumi. Pengelolaan lingkungan adalah persoalan yang memposisikan manusia dalam dua kepentingan yang berbeda. Pertama,  bagaimana manusia mengambil sesuatu yang dibutuhkan dari alam untuk digunakan memuhi kebutuhan individual dan sosialnya. Kedua, bagaimana menjaga agar apa yang dilakukan terhadap alam tidak memberikan dampak pada terganggunya keseimbangan alam yang akan berakibat pada terancamnya keberadaan entitas-entitas yang ada di dalamnya, termasuk manusia itu sendiri.
Ernst Haekel adalah orang yang mendefinisikan ekologi sebagai “Ilmu tentang relasi di antara organisme dan dunia luar sekitarnya”. Namun harus kami sampaikan di sini bahwa pembahasan mengenai ekologi yang coba kami paparkan pada tulisan ini adalah kajian lingkungan yang bukan menitikberatkan pada aspek teknis-praktis pengelolaan lingkungan, namun kami merasa lebih tertarik pada tinjauan dari akar-akar filosofis paradigma mengenai lingkungan yang menjadi dasar pengelolaan lingkungan. Kami percaya bahwa aspek praktis selalu ditentukan oleh aspek teoritis (filosofis) yang menjadi landasannya. Aspek praktis adalah persepsi tentang bagaimana memperlakukan sesuatu sebagaimana mestinya yang tentu saja didahului oleh persepsi teoritis tentang bagaimana realitas sebagaimana adanya.
Lingkungan hidup sebagai tempat di mana manusia hidup kini telah barada pada kondisi yang mengkhawatirkan dan berdampak terhadap terancamnya kehidupan manusia maupun makhluk lainnya sebagai akibat dari kesalahan manusia baik disengaja ataupun tidak. Dikutip dari BBC Indonesia, Badan Kesehatan Dunia menyatakan 80% penduduk dunia terpapar polusi udara (BBC Indonesia, Maret 2017). Tingginya laju penebangan hutan dan lahan atas juga sering menyebabkan banjir yang menelan cukup banyak korban jiwa.

Sumber : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBIy87nz5efzbD_WKFBl552_r_400TM3bivxxDNMg-g-QpXluuzVPUhXLFB_cWa8GgN24L9IhpQhHWUp_CtOKELSz32QqiZ9ODL1AAWxztWnmpHPNhQeJSl1POfCL_34hDAHCJ2mmz7VM/s320/29213_449379919026_271484204026_6024158_6289070_n.jpg 
Aksi penebangan hutan secara massif

Di wilayah pantai, material tanah  di dataran tinggi terbawa banjir hingga ke laut sehingga menyebabkan meningkatnya sedimenetasi yang berakibat pada tertutupnya terumbu karang dan biota dasar laut yang berdampak pada terganggunya ekosistem di wilayah laut dan pesisir.  Selain itu tingginya kebutuhan pembangunan di wilayah pesisir menyebabkan aktifitas reklamasi pantai terus meningkat sehingga pada giliranya mengakibatkan terjadinya banjir rob yang merusak pemukiman warga.

Di sisi lain, konservasi sebagai model rehabilitasi lingkungan  hidup yang bersifat konvensional  sejauh ini terlihat hanya bermotif  ekonomi (meminimalisir kerugian ekonomi di masa depan) sementara nilai etis dan religius belum menjadi alasan mendasar pengelolaan lingkungan. Konservasi lingkungan sebagai upaya untuk merehabilitasi kerusakan lingkungan hanyalah tambal sulam yang tidak memberikan solusi berkelanjutan terhadap persoalan pananggulangan kerusakan lingkungan secara menyeluruh. Konsep konservasi seakan hanya menyelesaikan masalah pada tingkatan hilir atau pada tataran tindakan, sedangkan pada tingkatan hulu yakni paradigma sains modern bercorak Cartesian-Newtonian yang atomistic dan reduksionistik sampai hari ini masih menjadi candu bagi kehidupan masyarakat modern utamanya masyarakat Barat dan juga sebagian masyarakat timur yang terpengaruh olehnya.

Penolakan Terhadap Paradigma Cartesian
Akibat dari paradigma sains modern yang atomistic-reduksionistik ini kehidupan industrialis-kapitalis seakan mendapatkan perlindungan intelektual (Intellectual protection) dalam tindakan ekspolitasi besar-besaran terhadap sumberdaya alam dikarenakan paradigma sains modern yang terlanjur ‘mendiktekan’ kesimpulannya bahwa alam hanyalah entitas-entitas mekanistik yang tak bernilai sehingga bebas untuk ‘diperbudak’ demi kepentingan kesejahteraan masyarakat industrial. Akibatnya, terjadi peningkatan kerusakan lingkungan yang turut menjadi ancaman bagi kehidupan manusia di muka bumi.
Semangat pemberontakan terhadap agama yang dihembuskan oleh gerakan renaissance pada abad ke 15 yang diawali oleh ‘Hentakan Pemikiran’ Descartes bukan hanya berupaya melawan dominasi agama yang saat itu dianggap telah merampas kemerdekaan berpikir manusia, namun lebih jauh berusaha untuk menjauhkan agama dan Tuhan dari kehidupan umat manusia. Periode yang dianggap sebagai masa pencerahan dianggap ‘berhasil’ mencapai tujuannya yang paling penting-minimal bagi kaum intelektual Barat saat itu-yakni mengambil alih panggung intelektual dari cengkraman lembaga agama.
Thomas S. Kuhn mencoba untuk menunjukkan gugatannya terhadap kemapanan paradigma sains modern dengan mengajak kaum intelektual untuk melakukan revolusi paradigmatik melalui bukunya The Structure of Scientific Revolution.  Selain Thomas S. Kuhn, watak dasar sains modern yang telah menjadi doktrin dalam proses pengelolaan lingkungan digugat banyak ilmuan antara lain Ashley Montagu, Gregory Bateson, Fritjof Capra, Morris Berman, Douglas C. Bowman, Stephen Toulmin dan Sayyed Hosein Nashr. Paradigma sains modern dianggap masih didominasi oleh cirinya yang dualistik, atomistik bahkan mekanistik.

Oase dari Timur
Sementara masyarakat Timur dengan paradigma religius-mistisnya telah lama terabaikan dari panggung modernisme. Ajaran-ajaran luhur yang telah lama menjadi nafas kehidupan tidak berhasil dimengerti oleh kaum intelektual barat sebagai oase di tengah tandusnya kehidupan masyarakat modern. Realitas sejarah peradaban pemikiran masyarakat Timur menunjukkan bahwa cukup banyak gagasan-gagasan pemikiran dari Timur yang sangat ramah terhadap alam, bahkan menghormatinya. Hal ini dapat kita temukan pada karya-karya para kaum intelektual, filusuf, bahkan Sufi dari timur seperti Muhammad Iqbal, Sayyid Husein Nashr,  Mulla Shadra, Ibnu Sina, Suhrawardi, Ibnu Arabi, dll.
Jika pada peradaban masyarakat barat telah lama cenderung hidup dalam kungkungan paradigma sains modern yang dualistik-reduksionistik atau melihat segala realitas (materi dan non materi, jiwa dan jasad) secara terpisah antara satu dengan lainnya sehingga antara satu sisi dengan sisi lainnya tidak saling mempengaruhi maka berbeda halnya dengan yang menjadi paradigma masyarakat Timur. Peradaban masyarakat Timur cenderung melihat segala realitas dalam kacamata Tauhid, Tao atau Zen yang melihat bahwa realitas pada hakikatnya satu, tidak ada pemilahan. Perbedaan itu terjadi pada realitas akibat adanya perbedaan kualitas, namun antara satu sisi dengan sisi lainnya sesungguhnya tidak terpisah dan juga saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Manusia tidak terpisah dengan alam, pun demikian manusia tidak terpisah dengan Tuhan sehingga segala gerak dari satu entitas di muka bumi ini akan turut mempengaruhi entitas lain. Untuk itulah maka alam perlu dikelola dengan baik berdasarkan etika ilahiah agar tidak merusak keseimbangan ekologi yang akan berlanjut pada terganggunya kehidupan umat manusia.
Sumber :
  1. Dr. Ach. Maimun, M.Ag. "Seyyed Hossein Nasr; Pergulatan Sains dan Spiritualitas Menuju Paradigma Cosmologi Alternatif". Dr. Ach. Maimun, M.Ag.IRCiSoD, Yogyakarta, 2015.
  2. Thomas S Kuhn. The Structure of Scientific Revolutions; Peran Paradigma dalam Revolusi Sains.
  3. http://www.bbc.com/indonesia/majalah-39176908

Minggu, 04 November 2018

Pancasila Rumah kita




Beberapa waktu lalu kita dihebohkan oleh kejadian kerusuhan yang terjadi di MAKO BRIMOB, Kelapa Dua, Jakarta. Kejadian yang kembali menyentak kesadaran kita bahwa sel-sel tidur para teroris masih menjadi bom waktu di negeri ini yang jika kita biarkan akan meluluhlantakkan kehidupan kebangsaan kita yang telah berpuluh-puluh tahun kita rawat di bumi nusantara ini.
Perilaku ekstrimisme seakan tak pernah mati di negeri ini semenjak mulai kembali menampakkan eksistensinya di awal tahun 2000-an hingga kini. Mulai dari kasus Bom Gereja, Bom Bali, Bom Marriot dan berbagai rentetan kasus kekerasan atas nama agama yang terus mengganggu nurani kita. Apalagi dalam keberagaman agama ras dan suku serta budaya di Indonesia, tentu hal ini adalah ancaman yang sangat serius.
Kita sudah tidak bisa acuh lagi terhadap hal ini dan membiarkan aparat keamanan saja yang berjibaku menghalau aksi-aksi mereka lalu kita tetap membuka diri dengan mereka dan membiarkan ideologi mereka tumbuh dan menggerogoti masyarakat kita sedikit demi sedikit, bagaikan tumor ganas yang menjalar perlahan ke sekujur tubuh lalu kita diamkan, akhirnya setelah sadar semuanya sudah terlambat, hanya pasrah pada kematianlah yang bisa kita terima.
Aksi kekerasan tentu harus kita telusuri apa motif yang melatarinya? Apakah motif ekonomi? Politik ataukah motif agama yang melatarinya. Jika sudah ditemukan maka tugas kita adalah melakukan langkah preventif, persuasif dan edukatif. Agar sumber masalah radikalisme-terorisme ini segera teratasi dan kita kembali melanjutkan cita-cita bapak pendiri bangsa kita membangun negara yang sentosa, adil dan makmur dengan dilandasi nilai-nilai kemanusiaan.
Berdasarkan penelusuran saya dalam beberapa sumber, sejatinya gerakan radikalisme dan terorisme di Indonesia diawali oleh tumbuhnya ideologi dalam sebuah mazhab keagamaan yang dimulai sejak masa pasca kemerdekaan dengan lahirnya DI/TII dan Negara Islam Indonesia (NII) di awal tahun 50-an. Meskipun hingga tahun 60-an para pemimpin gerakan ini berhasil ditangkap dan dibunuh oleh pemerintahan saat itu, namun ideologinya belum hilang dan terus dikembangkan sehingga muncul kembali di tahun 70 dan 80-an.
Setelah reformasi, gerakan radikalisme mendapatkan angin segar dengan terbukanya keran demokrasi seluas-luasnya sehingga masing-masing orang dan kelompok bebas berkumpul dan berpendapat, begitupun gerakan radikalisme di Indonesia. Terhitung sejak tahun 2000 hingga tahun 2016 kasus peledakan bom oleh jaringan terorisme sudah terjadi sebanyak 15 kali .Sampai hari ini kita masih dihebohkan dengan kasus penyanderaan dan pembunuhan di MAKO BRIMOB Kelapa Dua yang dilakukan oleh para napi teroris pada Selasa/08/05/2018.
Pertanyaan yang patut kita ajukan, dimana letak kesalahan kita sehingga kasus terorisme ini tak kunjung teratasi?
Jika kita sedari awal bertumpu pada prinsip bahwa gerakan pemikiran dilawan dengan gerakan pemikiran dan gerakan fisik dilawan dengan gerakan fisik maka masalah ini (radikalisme-red) harusnya tidak berlarut-larut. Kita selama ini seakan berusaha mendinginkan air mendidih di dalam sebuah belanga yang sedang terpanggang di atas api dengan cara mencampurkan air dingin ke dalam air di dalam belanga itu. Padahal, meskipun suhu air di dalam belanga akan berubah menjadi dingin, namun lama kelamaan suhu air akan kembali meningkat karena api sebagai faktor utama adanya suhu panas belum dipadamkan.
Pertanyaannya kemudian, di manakah letak api yang terus membakar seseorang untuk melakukan tindakan radikalisme? Jawabannya adalah di dalam pikiran mereka!, Ideologi mereka!. Meskipun seorang pelaku terorisme dan penganut radikalisme telah ditangkap, tapi selama api ideologi di dalam kepala mereka belum kita padamkan maka tindakan kekerasan atas nama agama akan kembali terulang dan terus memakan korban.
Ideologi Wahabisme yang menganggap orang lain yang berbeda dengan mereka sebagai kafir dan halal darahnya itulah yang harus kita lawan. Dilawan dengan apa? lebih arif adalah dengan gerakan pemikiran. Tunjukkan letak kesalahan berpikir mereka, tunjukkan bahwa orang tidak bisa memaksakan apa yang dia anggap benar kepada orang lain karena setiap dari kita memiliki kemerdekaan yang diberikan oleh Tuhan YME, Allah SWT kepada setiap umat manusia.
Yang harus kita lakukan adalah memasifkan pendidikan toleransi, Persatuan, pluralisme, humanisme, dan prinsip-prinsip agama yang moderat. Nilai-nilai itu semua sudah ada dalam ajaran pancasila yang selama ini menjadi ideologi bangsa kita. Seperti pernyataan Syaik Al-Azhar Prof. Dr. Ahmad At-Thayyeb saat menerima kunjungan Menteri Kordinator Bidang Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan di Kairo, 26 April 2018.
Selama ini pendidikan kepancasilaan kita cenderung hanya bersifat propaganda dan kampanye. belum menyentuh ke ranah intelektual-filosofis. Kita hanya disuguhkan dengan kalimat bahwa kita harus menghargai perbedaan, namun kita belum sampai mengajarkan dari manakah perbedaan dan mengapa perbedaan itu mesti ada? sehingga kita harus saling mengenal, bertoleransi, bersatu dan membangun peradaban yang manusiawi di atas prinsip keadilan yang berketuhanan.
Kalangan intelektual kita punya semangat mengajarkan pancasila dan itu perlu untuk diapresiasi. Namun, jangan berhenti sampai pada naskah akademik yang serampangan yang tak jelas bangunan epistemologinya apa?, pandangan dunianya bagaimana?, serta harus berperilaku (Aksiologinya) seperti apa?
Maka, sekali lagi peran aparat dan pemerintah saja tidak cukup, semua lapisan masyarakat; kaum intelektual, mahasiswa, LSM, komunitas masyarakat, Partai Politik semuanya harus mau bekerja sama menyingkirkan tumor ganas yang sudah terlanjur menggerogoti tubuh bangsa ini. Mulailah dari lingkungan keluarga, tetangga rumah, teman sekelas, teman sekampus, teman seprofesi hingga menyebar di seantero negeri ini. Polanya harus seperti itu, karena kelompok radikalisme juga memulainya dengan cara seperti itu.
Jangan biarkan mereka menebarkan virus ke dalam tubuh bangsa ini. Kita telah lama hidup rukun berdasarkan doktrin pancasila. Namun sekedar doktrin saja belum cukup, perlu pemahaman yang dalam agar dapat menangkal ancaman ideologi radikal yang tumbuh liar dan massif. Pancasila harus terus menjadi tempat kita berteduh dan berlindung dari ancaman perilaku anti kemanusiaan, untuk itu harus terus diperkuat.
Karena Pancasila adalah rumah kita.
Soekarno : ” Pancasila adalah saripati kebudayaan bangsa Indonesia yang telah tertanam selama ribuan tahun”
Tulisan ini pernah dimuat di website www.humanillumination.com

Selasa, 12 Juni 2018

Ancaman Serta Prospek Kawasan Mangrove Pantai Gumumae dan Desa Sesar



Alam sebagai bagian tak terpisahkan dari manusia memiliki berbagai macam potensi baik secara ekonomi maupun ekologi. Berbagai macam ekosistem yang hidup di dalamnya selain menjadi sumber bahan pangan, bahan papan (material bangunan) juga menyimpan potensi wisata alam (ekowisata). Sayangnya, kurangnya pemahaman dan kesadaran, mengakibatkan masyarakat maupun para pengambil kebijakan sering abai dalam pemanfaatan potensi yang ada, alih-alih dimanfaatkan dalam rangka peningkatan taraf hidup masyarakat dan pendapatan daerah, justeru sebaliknya alam dirusak oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab akibat lemahnya pengawasan dan penegakan hukum yang pada akhirnya akan berdampak pada hilangnya tumpuan ekonomi serta meningkatnya resiko saat terjadi bencana alam.
Salah satu potensi alam yang dapat dimanfaatkan dalam meningkatkan ekonomi masyarakat yaitu kawasan hutan mangrove. keberadaan hutan mangrove mampu menyediakan nutrient yang bermanfaat bagi biota yang hidup di dalamnya, bentuk akar mangrove yang khas menyerupai cakar menjadi daerah pemijahan (spawning ground) yang baik bagi biota laut. Selain itu, hutan mangrove juga dapat meminimalisir resiko bencana alam seperti abrasi pantai, tsunami serta terpaan angin puting beliung. Akar-akar mangrove yang kuat mampu menahan hempasan gelombang dari laut serta menjadi perangkap partikel material yang menyebabkan terjadinya sedimentasi secara terus menerus. Begitupun saat terjadi gelombang tsunami, akar-akar mangrove mampu menahan laju gelombang yang mengalir dari laut saat terjadinya tsunami sehingga dapat meminimalisir kerusakan yang terjadi, bahkan meminimalisir jatuhnya korban jiwa.
Di daerah Kabupaten Seram Bagian Timur, keberadaan kawasan hutan mangrove dapat ditemukan antara lain di Pulau Akat, Kecamatan Tutuk Tolu dan di pesisir Desa Sesar, Kecamatan Bula. Keberadaan hutan mangrove tersebut menjanjikan potensi ekonomi yang baik jika dimanfaatkan secara maksimal. Namun selama ini keberadaan hutan mangrove baik di pesisir Desa Sesar maupun di Pulau Akat belum mampu dimaksimalkan, baik sebagai destinasi wisata maupun sebagai kawasan konservasi.
Icon Pantai Gumumae yang menjadi Spot favorit pengunjung untuk melakukan pengambilan gambar


Kondisi Kawasan Mangrove Pantai Gumumae (Tanjung Sesar).
Keberadaan kawasan Hutan Mangrove di Pantai Gumumae (Tanjung Sesar) beberapa tahun yang lalu dilengkapi dengan jembatan berbahan kayu yang mengitari kawasan mangrove. Adanya fasilitas tersebut mampu menarik perhatian para pengunjung untuk datang menikmati suasana alam di sekitar kawasan hutan mangrove. Namun, saat ini jembatan tersebut telah mengalami kerusakan total sehingga tidak bisa lagi digunakan. Hal ini tentu berdampak pada menurunnya daya tarik Pantai Gumumae sebagai objek wisata unggulan di Kabupaten Seram Bagian Timur.
Di samping kawasan hutan mangrove di Pantai Gumumae, terdapat juga kawasan mangrove di pesisir Desa Sesar, tepatnya di kawasan Kampung Nelayan, Sesar. Namun dalam beberapa tahun terakhir laju penebangan terhadap mangrove cukup tinggi. hal ini dikarenakan berkembangnya pemukiman penduduk serta tidak maksimalnya pengawasan oleh aparat terkait. Penebangan mangrove tentu berdampak pada hilangnya daerah pemijahan (Spawning Ground) serta daerah pembesaran (nursery ground) bagi biota laut serta habitat bagi hewan lainnya sehingga menjadi sumber keanekaragaman hayati (Biodiversity). Kerusakan hutan mangrove di Desa Sesar tentu juga meningkatkan resiko saat terjadinya bencana alam. Fungsi akar-akar mangrove yang dapat menjadi perangkap sedimen sehingga mencegah terjadinya abrasi pantai telah dirusak demi kebutuhan lahan pemukiman. Selain itu, ancaman kerusakan akibat tsunami juga semakin tinggi dengan ditiadakannya mangrove seagai penahan laju ombak dari laut. terpaan angin puting beliung juga yang harusnya bisa dihalangi oleh mangrove, namun dengan penebangan maka resiko kerusakan perumahan warga akibat angin putting beliung semakin tinggi. Hal ini pernah di rasakan oleh masayarakat Graha Indah di Balikpapan yang harus menjadi korban angin puting beliung. Akibatnya, sebanyak 300 rumah warga mengalami kerusakan.
Penebangan mangrove di pesisir Desa Sesar selain akibat kebutuhan pemukiman, juga untuk keperluan pembangunan jalan yang menghubungkan jalan utama ke pemukiman nelayan. Sering kali pembangunan mengabaikan kepentingan ekologi. Tidak tersedianya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) mengakibatkan pembangunan yang mendahulukan sektor tertentu dan mengabaikan sektor yang lain. Padahal dengan adanya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dapat menjaga keseimbangan dan keserasian wilayah antar sektor sehingga tercipta keharmonisan dengan alam guna meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat yang berdampak pada terwujudnya integritas nasional.
Penebangan mangrove untuk pemukiman warga di Kampung Nelayan, Desa Sesar,
Kecamatan Bula, Kabupaten Seram Bagian Timur-Maluku


Potensi ekonomi dan ekowisata  
Sebuah Perbandingan
Keberadaan hutan mangrove jika diberdayakan dengan baik dapat menjadi tempat rekreasi, lokasi penelitian, kawasan konservasi serta sumber pemasukan ekonomi baik bagi masyarakat maupun bagi keuangan daerah. Sebagai contohnya Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan (KKMB) Kota Tarakan yang saat ini telah menjadi ikon wisata Kota Tarakan dengan beragam fungsi yakni pendidikan, hiburan serta Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Pintu masuk Kawasan Konservasi Hutan Mangrove dan Bekantan 

Objek wisata seluas 8,8 ha yang mulai dikelola sejak tahun 2001 ini juga menjadi rumah bagi puluhan ekor Bekantan (Nasalis larvatus)-sejenis kera yang memiliki hidung panjang- yang mulai dikembangkan di kawasan konservasi ini sejak tahun 2003. Kera-kera tersebut selain menjadi maskot daripada kawasan wisata Ancol, juga merupakan maskot wisata Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan (KKMB) Kota Tarakan. Di tahun tersebut Dinas Pariwisata Kota Tarakan selaku pengelola mengembangbiakkan 6 ekor. Hingga saat ini jumlah Bekantan telah mencapa 40 ekor. Selain menyediakan hewan langka seperti Bekantan, pemerintah Kota Tarakan juga menyediakan perpustakaan, pos istirahat dan gazebo. Aparat pemerintah setempat dalam membangun kawasan wisata mangrove juga melibatkan pihak PERTAMINA sehingga bisa menggunakan dana CSR (Corporate Social Responsibility) guna membangun berbagai fasilitas yang dibutuhkan.
Keberadaan fasilitas penunjang dikawasan wisata tersebut cukup memadai serta terawat dengan baik, letak kawasan wisata mangrove Kota Tarakan juga sangat strategis karena letaknya yang berdekatan dengan pusat kota sehingga mudah dijangkau oleh masyarakat baik menggunakan angkutan pribadi maupun angkutan umum. Hal ini yang menjadi salah satu keunggulan Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan (KKMB) Kota Tarakan.
Suasana Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan Kota Tarakan

Berdasarkan hasil penelitian tim peneliti dari Universitas Borneo-Tarakan diketahui bahwa dengan adanya kawasan wisata konservasi mangrove di Kota Tarakan tersebut mampu memberikan efek ekonomi kepada masyarakat (multiplier effect) sehingga dari 90 orang yang diwawancarai 20% memiliki pendapatan di atas Rp. 2.000.000/ bulan, 13,33% memiliki pendapatan berkisar Rp. 1.500.000-2.000.000/bulan, 37,78% memiliki penghasilan sebesar Rp. 1.000.000-1.500.000/bulan, 21,11% memiliki penghasilan sebesar Rp. 500.000-1.000.000/bulan dan sisanya, yakni 7,78% berpenghasilan kurang dari 500.000.

Prospek Hutan Mangrove Pantai Gumumae
Jika kita hendak membandingkan karakteristik hutan mangrove, Kota Tarakan dan hutan mangrove Pantai Gumumae maka bisa dikatakan pantai Gumumae memiliki karakteristik yang khas sehingga menjadi keunggulan tersendiri. Keunggulannya yakni selain topografi Pantai Gumumae berupa lumpur, khususnya di bagian dalam yang menjadi tempat mangrove tumbuh, juga merupakan pantai berpasir putih di bagian luar yang menghadap laut lepas dimana ratusan pohon cemara laut (Casuarina equisetifolia)  tumbuh, hal ini tentu menjadi keunikan tersendiri bagi Pantai gumumae. Selain itu, keberadaan berbagai macam reptil seperti buaya dan ular bisa dijadikan sebagai objek pengamatan para peneliti.
Hamparan pohon cemara laut (Casuarina equisetifolia) di Kawasan Wisata Pantai Gumumae

Letak pantai Gumumae yang berdekatan dengan pusat Kota Bula juga menjadi keunggulan tersendiri untuk dikembangkan karena mudah dijangkau oleh masyarakat. Namun, yang menjadi tugas daripada pemerintah setempat agar memastikan adanya fasilitas penunjang kawasan wisata mangrove seperti jembatan kayu yang akan digunakan oleh pengunjung masuk ke dalam area hutan mangrove, MCK, Musholla, fasilitas penerangan, serta jalan setapak dipinggir pantai yang nyaman sehingga momen liburan panjang (seperti lebaran saat ini hehe) masyarakat tak mesti jauh-jauh ke memilih tempat berekreasi.
Tantangan berikutnya adalah bagaimana merubah pola pembangunan pemukiman yang tidak lagi mengorbankan ekositem mangrove agar penebangan terhadap mangrove bisa diminimalisir. Terkait mitigasi bencana, terjaganya kawasan hutan mangrove dapat melindungi pemukiman warga dari ancaman abrasi pantai, tsunami, rembesan air laut, terpaan angin puting beliung. Selain itu, dengan tingginya kunjungan wisatawan di kawasan wisata mangrove juga akan menciptakan efek ekonomi yang pada akhirnya akan meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar. Para pengrajin bisa menjajahkan hasil kerajinannya, para penjual makanan dan minuman disediakan bangunan sewa untuk menjajakan makanan dan minumannya, keberadaan warung makan akan meningkatkan permintaan sayur, ikan, beras serta kebutuhan lainnya. tingginya permintaan ikan akan meningkatkan pendapatan nelayan, tingginya aktifitas nelayan akan meningkatkan kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan begitu seterusnya. begitulah efek ekonomi yang akan tercipta. Tentu pembangunan kawasan wisata hutan mangrove ini tidak hanya dibebankan kepada pemerintah, namun dapat juga memanfaatkan perusahaan-perusahan tambang yang beroperasi di Kota Bula melalui mekanisme CSR (Corporate Social responsibilities).

Tulisan di atas mengulas pamnfaatan potensi satu objek wisata. jika terealisasi maka betapa banyak masyarakat yang terangkat dari lembah kemiskinan. bagaimana jika semua objek wisata di bumi Ita Wotu Nusa ini dapat dimaksimalkan? tentu lebih banyak lagi masyarakat yang meningkat taraf hidupnya dan terangkat dari jurang kemiskinan.
Semoga!

12/06/18


  

Sabtu, 26 Maret 2016

BUDAYA LOKAL DITENGAH PUSARAN ARUS GLOBALISASI


Assalamualaikum & salam perjuangan sang calon revolusioner zaman...
Izinkanlah kutuangkan sedikit kegelisahanku padamu, untuk sekedar membuatku lega karena telah meyampaikannya padamu tentang sikapku terhadap zaman yg semakin lama semakin mengkhawatirkan. Saudaraku sebangsa dan setanah air...
Bangsa Indonesia kini telah terseret dalam kencangnya arus zaman yang arahnya kian sulit untuk dikendalikan. Ditengah kencangnya arus zaman itu bangsa ini ternyata belum mempunyai benteng yang kokoh untuk memproteksi berbagai dampak negatife yang akan terjadi akibat dampak globalisasi yangg sarat dengan sejumlah kepentingan barat sehingga orang-orang mengatakan bahwa jika terjadi globalisasi maka sudah dipastikan bahwa agenda westernisasi (Membarat-baratkan) suatu negara pun menjadi agenda wajib karena westernisasi adalah substansi dari globalisasi itu sendiri.
Ideologi bangsa yg belum dijiwai kian memperparah nasib anak negeri sebagai target  dari program globalisasi dan westernisasi tersebut. Terlalu lama negara ini berjibaku dalam perang ideologi yg akhirnya menggiring kita pada kondisi yg saya sebut “Persimpangan Peradaban”. Masyarakat Indonesia yang mendeklarasikan dirinya sebagai pengusung pancasila pun belum mampu menjadikan pancasila sebagai nafas kehidupannya yg mampu menjawab semua permasalahan dalam berbangsa dan bernegara. Sementara itu sebagian rakyat di negeri ini menganggap bahwa Ideologi sosialisme-lah yang mampu mengantarkan bangsa Indonesia ke gerbang kemerdekaan, yaitu merdeka dari segala bentuk penjajahan, baik dalam segi sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, politik dan berbagai segi kehidupan lainnya. Di sisi lain ada para kaum kapitalis (kaum pengusaha besar) yg asyik dalam kehidupannya yg penuh dengan sistem kapitalistik yg sudah jelas menghisap darah rakyat dengan monopoli ekonominya.
Kebudayaan sebagai Identitas.
Modernisasi sebagai bagian dari instrument globalisasi telah menghantarkan manusia untuk melakukan inovasi di segala bidang demi kemudahan hidupnya, tak terkecuali inovasi di bidang informasi dan teknologi (IT). Namun perlu disadari bahwa kemajuan teknologi informasi yg telah dicapai saat ini bagaikan “bola liar”, sehingga jika tidak dikendalikan dengan baik maka akan berdampak buruk bagi kehidupan umat manusia baik sekarang maupun di masa akan datang. Tapi sayang sampai hari ini kemajuan IT itu sendiri secara global telah memakan korban yg makin lama kian bertambah, tak terkecuali di Indonesia sendiri. Untuk itu, diperlukan suatu instrument yang konstruktif agar mampu menghadapi kencangnya hempasan gelombang kemajuan IT tsb.Indonesia secara historis memiliki peradaban yg cukup maju di mata dunia sehingga seharusnya mampu menjawab permasalahan ini. Peradaban yg telah diwariskan oleh nenek moyang kita dari kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Mataram, Gowa, kesultanan Ternate & Tidore dll., seharusnya dijadikan senjata ampuh yg mampu menyelamatkan anak bangsa dari efek radikal kemajuan teknologi dan Informasi (IT) yang terus memperkenalkan budaya barat yang kebanyakan bersifat destruktif. Opini publik terus di giring pada cara hidup yangg tidak lagi sesuai dengan falsafah hidup leluhur kita yg hidup pada zaman kerajaan dan kesultanan. Warisan budaya leluhur negeri ini yg lebih memanusiakan manusia kini perlahan tapi pasti telah mulai ditinggalkan. Budaya sopan santun, Sikap Jujur dan kesatria, kehidupan yg sederhana, berjiwa sosial yg tinggi serta berbagai norma-norma lainnya kini telah menjadi barang langka yg sulit ditemukan dalam kehidupan bermasyarakat dewasa ini.
Konteks SBT
Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) yg merupakan bagian dari elemen bangsa harusnya mampu merespon gejolak sosial yg terjadi dewasa ini. Sebagai daerah yangg kental dengan adat harusnya telah mempersiapkan diri dalam manghadapi serangan budaya destruktif yg setiap saat dapat mengancam kebudayaan anak negeri. Kearifan lokal masyarakat yg ada tetap di jaga dan dilestarikan sehingga selain melakukan langkah proteksi demi kelangsungan hidup ke depan, juga merupakan bentuk usaha untuk mempertahankan identitas sebagai masyarakat yang berbudaya. Tari-tarian daerah, Upacara adat, nyanyian rakyat, kerajinan rakyat, pakaian adat serta berbagai aset budaya lainnya seharusnya dipandang dengan sudut pandang bercorak filosofis yang mengajarkan tentang nilai-nilai humanisme (kemanusiaan) bukan sekedar barang-barang serta gerakan-gerakan yg tanpa makna. Sehingga masyarakat menjadi tersadarkan tentang pentingnya menjaga nilai-nilai humanisme dalam melakukan interaksi sosial seperti apa yg telah di lakukan oleh Leluhur di masa lalu. Penanaman Ideologi yang berbasis kultural sejauh ini merupakan metode yang cukup efektif untuk melakukan penyadaran dalam melakukan suatu perubahan, perubahan ke arah masyarakat yang berbudaya luhur serta sadar akan identitasnya sebagai masyarakat adat, sehingga nantinya tidak teralalienasi (terasingkan) dari kebudayaan sendiri yg lebih memanusiakan manusia. Perencanaan yg tersistematis perlu dilakukan untuk mencapai harapan-harapan itu sehingga upaya pelestarian kearifan masyarakat lokal ini dapat dilestarikan ke pada seluruh generasi yg ada. Upaya memperkenalkan aset budaya ini perlu ditanamkan sejak dini mulai dari jenjang pendidikan yang paling rendah sampai ke tingkat Perguruan Tinggi. Selain itu, upaya melestarikan kearifan masyarakat lokal juga berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat kecil karena menjadi daya tarik bagi wisatawan baik lokal maupun manca negara sehingga langkah ini merupakan sebuah alternatife dalam menjawab permasalahan daerah dalam berbagai segi seperti ekonomi, sosial (pengangguran), budaya, dll. Untuk itu diperlukan kesadaran bersama untuk merealisasikan apa yang cita-cita bersama tentang penyelamatan generasi dan upaya pembangunan ekonomi, sosial, budaya di bumi Ita Wotu Nusa yg kita cintai ini. Semoga keterbatasan pemikiranku ini bermanfaat bagi pembacanya.Wassalam & Salam Perjuangan…