Hasil Tangkapan Nelayan Maluku (Sumber : Jatimnet.com) |
Oleh: Abdul Ajiz Siolimbona, S.Pi, M.Si
Tahun 2020 ini merupakan tahun politik yang krusial bagi Indonesia.
dianggap krusial karena di 270 Kabupaten/Kota se-Indonesia akan dilakukan
pemilihan kepala daerah baru pada tanggal 9 Desember 2020 nanti. Pesta
demokrasi guna memilih orang nomor wahid di setiap kabupaten/kota tersebut
diselenggarakan dari Sumatera hingga Papua. Di Provinsi Maluku sendiri akan
terjadi pemilihan kepala daerah di 4 kabupaten, yakni Kabupaten Kepualauan Aru,
Kabupaten Maluku Barat Daya, Kabupaten Seram Bagian Timur dan Kabupaten Buru
Selatan.
Tentu publik menaruh harapan besar pada setiap moment pergantian kepala
daerah tersebut. Kebijakan yang selama ini dianggap tidak tepat, tak menyentuh
masalah secara substantif serta tak memberikan dampak nyata terhadap masyarakat
akan berganti menjadi lebih baik dengan bergantinya kepala daerah. Begitupun sebaiknya,
kepala daerah yang oleh masyarakat dianggap sudah bekerja dengan baik,
menyelesaikan masalah daerah secara substantif serta mampu mewujudkan
kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat diharapkan akan terpilih lagi
sehingga akan melanjutkan kinerja postifnya pada periode kedua.
Namun di sisi lain, tak bisa dinafikan bahwa banyak juga masyarakat
yang merasa pesimis, hal ini terbukti dengan semakin meningkatnya angka golput
dari tahun ke tahun sehingga pada tahun 2004 angka golput sebesar 23,24%,
27,45% di tahun 2009 dan 30,42% pada 2014. Namun angka golput akhirnya menurun
drastis di tahun 2019 yang hanya
mencapai 19,24% (LSI, 2019). Bisa jadi di tahun 2019 adalah prestasi terbesar
KPU dalam hal menurunkan angka golput di Indonesia.
Ada beberapa alasan yang mengemuka sehingga masyarakat menjadi enggan
untuk berpartisipasi dalam momentum pemilihan umum, salah satunya meningkatnya
ketidakpercayaan publik terhadap partai politik karena dianggap tidak bekerja
untuk kepentingan masyarakat kelas bawah (grassroot),
namun hanya mementingkan keuasaan. Selain itu, masih tingginya angka kemiskinan
juga menjadi alasan memudarnya harapan pada sosok yang mewakili partai
tertentu. Di Indonesia sendiri, kemiskinan sampai saat ini masih didominasi
oleh masyarakat pesisir yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Pada
2019, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan angka kemiskinan di Indonesia
mencapai 9,41 %. Maluku sendiri tetap bertahan menjadi Provinsi termiskin ke-4
di Indonesia dengan jumlah 317.690 orang atau 17,69% dari total jumlah penduduk
di Provinsi Maluku (melebihi presentase kemiskinan nasional). Jika Maluku
sebagai perovinsi yang mayoritas desanya adalah desa pesisir menjadi provinsi
termiskin ke-4 maka sudah bisa dipastikan angka kemiskinan nelayan di Maluku
cukup tinggi. Padahal secara nasional, 80% dari kebutuhan ikan dalam negeri
disuplai oleh nelayan kecil.
Nelayan menjadi komoditas politik
Di Indonesia, sudah sering
kita lihat para politisi yang ramai-ramai melakukan pencitraan menjelang
pemilihan umum demi meningkatkan tingkat elektabilitasnya. Hal ini tentu
berkaitan dengan desain pesan yang ingin disampaikan kepada calon pemilih (voter). Struktur sosial yang terlanjur
menempatkan nelayan berada di lapisan paling bawah bersama golongan masyarakat
petani menjadikan mereka sangat rentan dieksploitasi demi meraih kemenangan
pada sebuah kontestasi politik. Masyarakat nelayan yang selalu berada pada
kondisi lemah dan tak berdaya seakan berubah menjadi ‘primadona’ ketika moment
politik tiba. Tak jarang kita lihat para calon kepala daerah, calon anggota legislatif
bahkan calon presiden yang sedang berkontestasi, memilih untuk berpose bersama
nelayan atau bahkan berdandan layaknya nelayan demi menyampaikan pesan politik
kepada para calon pemilih bahwa dia dalah bagian daripada masyarakat bawah. Hal
ini tentu bertujuan untuk menaikkan elektabilitasnya di mata publik saat moment
pemilihan tiba. Namun yang menjadi ironi adalah seringkali pasca pemilihan
umum, nelayan kembali ditelantarkan dan kebijakan yang dirumuskan tidak
menyelesaikan persoalan kemiskinan nelayan.
Kebijakan pembangunan belum pro nelayan
Meskipun dalam beberapa tahun
yang lalu, utamanya di saat Menteri Kelautan dan Perikanan masih djabat oleh
Ibu Susi Puji Astuti, banyak pihak yang dibuat takjub dengan kebijakan Ibu Susi
yang mengebom dan menenggelamkan kapal illegal yang tertangkap sedang
beroperasi di Perairan Indonesia. Namun belakangan mulai banyak orang yang
meyangsikan dampak kebijakan tersebut bagi peningkatan kapasitas ekonomi
nelayan di Indonesia. Misalnya, ketika di satu sisi Ibu Susi menenggelamkan
kapal guna meminimalisir angka illegal
fishing oleh kapal asing demi menjaga kedaulatan laut dan menjaga
keberlanjutan sumberdaya ikan (sustainability),
namun di sisi lain menteri kelautan saat itu juga mengeluarkan larangan
pengoperasian beberapa jenis alat tangkap ikan yang sebelumnya banyak digunakan
oleh nelayan. Akibatnya, produktifitas hasil tangkapan nelayan terus mengalami
penurunan. Hal ini semakin diperparah dengan buruknya tata kelola niaga
perikanan di Indonesia yang masih cenderung merugikan nelayan. para pembeli
seringkali lebih kuasa dalam penentuan harga ikan yang hendak dibeli. Selain
itu mata rantai distribusi yang terlalu panjang mengakibatkan keuntungan
nelayan semakin minim. Akibatnya, pelarangan terhadap alat tangkap tertentu,
lemahnya posisi nelayan dihadapan para pembeli serta panjangnya mata rantai
distribusi membuat nelayan semakin terjerembab dalam kubangan jurang
kemiskinan. BPS pada 5 maret 2020 merilis, 52,94% nelayan di Indonesia memiliki
Nilai Tukar Nelayan (NTN) di bawah 100 atau belum sejahtera. NTN adalah total
pendapatan nelayan dari hasil perikanan dibagi total pengeluaran yang harus
dikeluarkan oleh nelayan untuk kebutuhan konsumsi dan produksi. Untuk itu para
kepala daerah yang nantinya terpilih diharapkan agar bisa membenahi tata niaga
perikanan di wilayahnya masing-masing serta mengurangi mata rantai distribusi
agar tidak terlalu banyak pedagang perantara yang akan berdampak pada semakin
rendahnya harga hasil tangkapan.
Nelayan Maluku sejahtera(?)
Untuk mengukur tingkat
kesejahteraan nelayan Maluku, kita bisa melihat tingkat NTN (Nilai Tukar Nelayan). Masih berdasarkan data dari BPS
pada 5 maret 2020 yang menyebutkan bahwa tingkat NTN provinsi Maluku adalah
105,04. Meskipun secara sepintas sudah masuk kategori sejahtera, namun dengan
status Maluku sebagai pemilik pantai terpanjang di Indonesia yakni 10.630 km
(11,17% dari total panjang garis pantai Indonesia) masih kalah dibandingkan
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang memiliki NTN mencapai 106,61 dengan
panjang garis pantai hanya 1200 km. Maluku juga kalah dibandingkan Provinsi
Jambi yang memiliki NTN 106,73 dengan garis pantai hanya sepanjang 268 km.
berdasarkan fakta tersebut maka Pemerintah Provinsi Maluku serta Pemerintah pusat
harus terus mendorong pembangunan perikanan di Maluku.
Berdasarkan data Direktori
perusahaan perikanan, pelabuhan perikanan, tempat pelelangan ikan (TPI) dan
pangkalan pendaratan ikan (PPI) Provinsi Maluku tahun 2017, Jumlah Pelabuhan
Perikanan di Maluku hanya berjumlah 3 buah yakni Pelabuhan Perikanan Nusantara
(PPN) Tantui, Pelabuhan Perikanan Eri dan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN)
Dumar. Tempat pelelangan ikan (TPI) di Maluku sampai saat ini belum ada yang
aktif. Sedangkan untuk Pangkalan Pendarat Ikan (PPI) hingga tahun 2016
berjumlah 18, dimana hanya 3 yang aktif. Kondisi ini tentu sangat menyulitkan
upaya pendataan aktifitas penangkapan ikan di Maluku. Maka kita patut bertanya
bagaimana bisa NTN Provinsi Maluku dinyatakan di atas angka sejahtera sementara
jumlah pelabuhan serta pangkalan pendaratan ikan banyak yang tidak aktif
padahal ketidakaktifan itu membuat pendataan tak bisa maksimal dilakukan.
Paradoks OTODA
Otonomi daerah selain
memberikan harapan bagi peningkatan kesejahteraan nelayan, seringkali justeru
kembali menghadirkan kantong kemiskinan baru. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
program pemberian bantuan bagi nelayan seringkali tidak tepat sasaran, bahkan
cenderung kontraproduktif. Pemberian bantuan oleh pemerintah daerah, baik di
Maluku maupun di wilayah lain acap kali lebih mempertimbangkan relasi politik
dalam konteks politik balas budi demi menjaga kantong suara (basis massa). Hal
ini berdampak pada tidak efektifnya program bantuan bagi nelayan. Pada beberapa
kasus, masyarakat yang berprofesi sebagai petani justeru mendapatkan bantuan
alat tangkap. Sebaliknya, nelayan justeru mendapatkan bantuan bibit tanaman
serta peralatan pertanian. Akibatnya, alat tangkap yang diberikan tidak dapat
dioperasikan, atau malah dijual. Hal ini tentu berdampak pada tidak
meningkatnya produkifitas sektor perikanan suatu daerah. Selain permasalahan
tersebut, permasalahan lain terkait pembangunan perikanan yaitu proses
pendataan yang sering direkayasa demi memberikan kesan positif terhadap kinerja
pemerintah daerah. Implikasinya, kebijakan yang hendak dirumuskan sering tidak
sesuai dengan kondisi sebenarnya di lapangan.
Revolusi biru di Maluku sekarang juga
Peningkatan kesejahteraan
nelayan di Maluku akan hanya menjadi angan jika kebijakan yang disusun hanya
menyangkut infrastruktur tanpa melibatkan suprastruktur dan juga tidak
melibatkan masyarakat di level grassroot.
Saat ini armada kapal penangkap ikan di Maluku mayoritas didominasi oleh armada
dengan kapasitas kurang dari 5 GT (Gross
Tonage). Tentu ini berdampak pada
rendahnya tingkat produktifitas nelayan di Maluku. Pada tahun 2019, total
penangkapan ikan di Maluku hanya mencapai 602,953 ton dari potensi perikanan
tangkap Maluku sebesar 3.055, 504 ton/tahun, atau sekitar 20% yang mampu
dimanfaatkan. Untuk itu bagi kepala daerah yang akan terpilih kedepan hendaknya
pengambilan kebijakan dilakukan berdasarkan pendekatan menyeluruh yang memiliki
dampak kepada semua lapisan masyarakat yang terkait dengan perikanan (Revolusi
biru). tentu harus juga memiliki nilai keberlanjutan dan bukan hanya sekedar
langkah-langkah yang berorientasi pada kepentingan politik elektoral semata.
Arif Satria pada tahun 2015
menawarkan revolusi biru dalam 3 model : Pertama, model teknokratik. Model ini
berorientasi pada peningkatan kapasitas produksi dengan mengandalkan pengusaha
besar di bidang perikanan serta padat modal. Namun model ini tidak memungkinkan
untuk diterapkan di Indonesia mengingat usaha penangkapan ikan di Indonesia
lebih didominasi oleh nelayan skala kecil dengan kapasitas di bawah 5 GT.
Meskipun model ini pernah dipraktekkan di Peru, namun efek negatifnya adalah
nelayan skala besar akan mematikan nelayan skala kecil dan tradisional. Kedua,
model populis. Melalui metode ini fokus pengembangan perikanan lebih diarahkan
pada usaha nelayan skala kecil. Filipina pernah menerapkan model ini, namun
hasilnya tak mampu meningkatkan kapasitas produksi akibat industrialisasi yang sangat minim.
Aktifitas perdagangan hasil tangkapan hanya mengandalkan cara konvensional yang
tidak memberikan dampak ekonomi berganda (multiplier
effect). Ketiga,model tekno-populis. Yaitu model pengelolaan perikanan yang
mengkombinasikan model teknokratik dan model populis. Hal ini dilakukan dengan
cara tetap menjaga keberadaan pengusaha besar di bidang perikanan sembari juga
meningkatkan kapasitas nelayan kecil. Agar tidak terjadi konflik terkait
sumberdya ikan, maka nelayan dengan skala besar didorong untuk beroperasi di
perairan lepas, sedangkan nelayan skala kecil dan tradisional beroperasi di
wilayah perairan pantai. Hal ini sperti yang dipraktekkan oleh Jepang dan
Norwegia yang berhasil menjadikan Norwegia sebagai eksportir ikan terbesar
kedua di dunia dengan total niai ekspor 6, 94 milliar USD.
Di bidang pendidikan dan
kebudayaan, pemerintah daerah sudah harus mendorong agar wawasan kemaritiman
menjadi orientasi hidup. Masyarakat Maluku yang memiliki luas laut mencapai 92,
4% sudah harus menyadari bahwa sumber ekonomi sudah tidak lagi hanya bertumpu
pada pala dan cengkeh tapi juga sumberdaya laut dan pesisir. Hal ini dapat
dillakukan dengan menyusun kurikulum pendidikan berorientasi maritim sejak
Sekolah Dasar (SD) hingga perguruan tinggi (PT). Jika orientasi hidup orang Maluku sudah
mengarah ke laut, maka masyarakat akan memanfaatkan laut secara maksimal.
Sehingga ketika program lumbung ikan nasional (LIN) disahkan, masyarakat Maluku
telah siap menyambutnya dan tidak menjadi penonton di negeri sendiri. Pada
konteks kebudayaan, adanya budaya sasi
laut yang telah menjadi kearifan lokal orang Maluku perlu dilindungi dengan
peraturan daerah tentang adat (PERDA ADAT). Selama ini perda adat yang ada di
Maluku hanya menegaskan status negeri-negeri adat beserta struktur pemerintahan
adat yang ada, tanpa menyentuh lebih jauh upaya pelestarian kearifan lokal di
Maluku. Di sinilah peran tanggung jawab kepala daerah yang nantinya terpilih
jika memang ingin mewujudkan revolusi biru di bumi raja-raja. Semoga kita bisa
mewujudkannya.