Senin, 25 Januari 2016

PEDOMAN PENGELOLAAN EKOSISTEM PESISIR


Pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976; Dahuri et al, 2001).
Pengelolaan wilayah peisisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya, kegiatan pemanfaatan  (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Dalam konteks ini, keterpaduan (integration) mengandung tiga dimensi : sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis.
Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlu ada kordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat pemerintah terpadu (horizontal integration) ;  dan antar tingkat pemerintah dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten propinsi, sampai tingkat pusat (vertical integration).
Seperti diuraikan diatas, bahwa wilayah pesisir pada dasarnya tersusun dari berbagai macam ekosistem (mangroves, terumbu karang, estuaria, pantai berpasir, dan lainnya) yang satu sama lain saling terkait, tidak berdiri sendiri. Perubahan atau kerusakan yang menimpa satu ekosistem akan menimpa pula ekosistem lainnya. Selain itu wilayah pesisir juga dipengaruhi oleh berbagai macam kegiatan manusia maupun proses-proses alamiah yang terdapat di lahan atas maupun laut lepas. Kondisi empiris semacam ini mensyaratkan bahwa pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu (PWLT) harus memperhatikan segenap keterkaitan ekologis tersebut, yang dapat mempengaruhi sauatu wilayah pesisir.
Mengingat bahwa suatu pengelolaan terdiri dari tiga tahap utama : perencanaan, implemantasi, omintorong, dan evaluasi, maka jiwa/nuansa keterpaduan tersebut perlu diterapkan sejak tahap perencanaan sampai evaluasi.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, Wilayah Pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai untuk propinsi dan sepertiga dari wilayah laut itu (kewenangan propinsi) untuk kabupaten/kota dan ke arah darat batas administrasi kabupaten/kota. 

Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan dimana batasnya dapat didefinisikan baik dalam konteks struktur administrasi pemerintah maupun secara ekologis. Batas ke arah darat dari  wilayah pesisir mencakup batas administratif  seluruh desa (sesuai dengan ketentuan Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum dan otonomi Daerah, Depdagri) yang termasuk dalam wilayah pesisir menurut Program Evaluasi Sumber Daya Kelautan (MERP). Sementara batas wilayah ke arah laut suatu wilayah pesisir untuk keperluan praktis dalam proyek MERP adalah sesuai dengan batas laut yang terdapat dalam peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) dengan skala 1:50.000 yang diterbitkan oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), (Dahuri dkk.,1996).

Untuk dapat mencapai tujuan yang didinginkan dalam pengelolaan dan pemanafaatan serta menjaga keberlangsungan sumberdaya yang ada di wilayah pesisir, maka hal yang mutlak diperlukan adanya pedoman pengelolaan untuk setiap komponen  ekosistem wilayah di pesisir. Untuk itu dalam bab ini akan diuraikan setiap permasalahan yang ada disetiap komponen ekosistem serta pedoman yang akan digunakan dalam pengelolaannya.

       Ekosistem Terumbu Karang
      a.Permasalahan
         Ekosistem terumbu karang terdapat di lingkungan perairan yang agak dangkal, seperti paparan benua dan gugusan pulau-pulau diperairan tropis. Untuk mencapai pertumbuhan maksimum, terumbu karang memerlukan perairan yang jernih, dengan suhu perairan yang hangat, gerakan gelombang yang besar, dan sirkulasi yang lancar serta terhindar dari proses sedimentasi.
Oleh karena itu, ekosistem terumbu karang serta biota yang berasosiasi dengan terumbu karang tersebut sangat sensitif terhadap berbagai hal seperti : (1) aliran air tawar yang berlebihan yang dapat menurunkan nilai salinitas perairan; (2) beban sedimen yang dapat mengganggu biota yang mencari makan melalui roses penyaringan (filter feeding); (3) suhu ekstrim, yaitu suhu diluar batas suhu toleransi terumbu karang; (4) polusi seperti biosida dari aktifitas pertanian yang masuk ke perairan lokal; (5) kerusakan terumbu, seperti yang diakibatkan oleh badai siklon dan jangkar perahu; dan (6) beban nutrien yang berlebihan yang menyebabkan berkembangnya alga secara berlebihan sehingga dapat menutupi dan membunuh organisme koral atau timbulnya blooming dari fitoplankton yang dapat menghalangi penetrasi sinar matahari sehingga tingkat fotosintesis dari koral menjadi menurun. 


b.      Pedoman Pengelolaan
      Ekosistem terumbu karang memiliki kemampuan yang baik dalam memperbaiki sendiri bila terjadi kerusakan dan memperbaharui bagian yang rusak, bila karakteristik habitat dari berbagai macam formasi terumbu karang dan faktor lingkungan yang mempengaruhinya terpelihara dengan baik. Namun bagaimanapun juga, tekanan terhadap keberadaan terumbu karang banyak diakibatkan oleh kegiatan manusia, sehingga perlu dilakukan langkah-langkah prefentif. Hal tersebut merupakan hasil dari kegiatan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir yang baik dengan cara mengidentifikasi tingkat kerawanan dari terumbu karang. Beberapa langkah pengelolaan terumbu karang dapat dilakukan seperti yang ada di bawah ini :

1.  Jangan melakukan pengerukan atau aktifitas lainnya yang menyebabkan teraduknya sedimen sehingga membuat air menjadi keruh. Jika hal ini tidak memungkinkan, maka upaya-upaya untuk menahan sedimen perlu dilakukan (misalnya penyaringan sedimen) dan melakukan program monitoring sebagai tindak lanjut dari peraturan kegiatan penambangan untuk mendapatkan standar kualitas air yang dapat diterima.

2.  Hindarkan pencemaran dan peningkatan nutrien ke dalam ekosistem terumbu karang. Penempatan lokasi industri yang jauh dari zona terumbu karang  dapat meminimalkan resiko terjadinya pencemaran. Demikian pula pembuangan limbah cair di tengah laut tidak diizinkan karena dapat mempengaruhi areal terumbu karang. Pengecualian apabila industri yang dimaksud melakukan pengelolaan limbah, kolam pengendapan dan pendinginan untuk kemudian dibuang di tengah laut dan saluran pembuangan.

3.      Hindari perubahan suhu air di luar ambang batas. Untuk menjaga kisaran suhu yang dapat ditolerir, air buangan dengan suhu tinggi tidak boleh masuk ke areal terumbu karang. Penurunan salinitas terhadap terumbu karang. Penurunan salinitas terhadap terumbu karang diperburuk oleh limpahan air tawar pada waktu tertentu lebih tinggi dari air laut. Penampungan air limbah pada kolam-kolam pendingin hingga suhu mencapai ambang yang ditentukan merupakan salah satu solusi terhadap permasalahan ini.

4.  Melakukan pemantauan ekosistem terumbu karang untuk mengetahui perkembangan kondisi terumbu karang tersebut.

     Ekosistem Hutan Mangrove
a.      Permasalahan
         Mangrove dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal dalam kondisi dimana terjadi penggenangan dan sirkulasi air yang menyebabkan pertukaran dan pergantian sedimen secara terus menerus. Sirkulasi yang tetap (terus menerus) meningkatkan pasokan oksigen dan nutrien, untuk keperluan respirasi dan produksi yang dilakukan oleh tumbuhan. Perairan dengan salinitas yang rendah akan menghilangkan garam-garam dan bahan-bahan alkalin, mengingat air yang mengandung garam dapat menetralisir keasaman tanah. Mangrove dapat tumbuh pada berbagai macam substarat (tanah berpasir, tanah lumpur, tanah lempung, tanah berbatu, dan sebagainya). Mangrove tumbuh pada berbagai jenis substrat yang bergantung pada proses pertukaran air untuk memelihara pertumbuhan mangrove.


      Secara umum hutan mangrove dan ekosistem mangrove cukup tahan terhadap berbagai gangguan dan tekanan lingkungan. Namun demikian, mangrove tersebut sangat peka terhadap pengendapan atau sedimentasi, tinggi rata-rata permukaan air, pencucian serta tumpahan minyak. Keadaan ini mengakibatkan penurunan kadar oksigen dengan cepat untuk kebutuhan respirasi, dan menyebabkan kematian mangrove. Perubahan faktor-faktor tersebut yang mengontrol pola salinitas substrat dapat menyebabkan perubahan komposisi spesies; salinitas yang lebih dari 90 ppt dapat mengakibatkan kematian biota dalam jumlah yang besar. Perubahan salinitas dapat diakibatkan oleh perubahan siklus hidrologi, aliran air tawar dan pencucian terus menerus seperti kegiatan pengerukan, bendungan dan penyekatan.
Permasalahan utama tentang pengaruh atau tekanan terhadap habitat mengrove bersumber dari keinginan manusia untuk mengkonversi areal hutan mangrove menjadi areal pengembangan perumahan, kegiatan-kegiatan komersil, industri dan pertanian.

b.      Pedoman Pengelolaan
       Pada kondisi khas di zona pasang surut di daerah tropis, magrove mempunyai kemampuan untuk tumbuh dengan cepat, membentuk struktur hutan yang kompleks dan memiliki produktivitas yang tinggi. Namun ekosistem ini sangat sensitif terhadap faktor-faktor seperti sirkulasi air, salinitas dan aspek fisika-kimia dari substrat hidupnya. Konservasi ekosistem dan sumberdaya di dalamnya dapat dicapai dengan mencegah terjadinya perubahan-perubahan nyata dari faktor-faktor tersebut di atas. Penting untuk diperhatikan bahwa banyak hal yang dapat merubah faktor-faktor tersebut, berasal dari luar ekosistem mangrove. Karenanya, konservasi dan pemanfaatan mangrove tergantung sepenuhnya dengan perencanaan yang terintegrasi dengan mempertimbangkan kebutuhan ekosistem mangrove. Usulan pengembangan dan kegiatan insidentasi yang mempengaruhi ekosistem mangrove hendaknya mencerminkan perencanaan dan pengelolaan sebagai berikut :
1.    Peliharalah dasar dan karakter substrat hutan dan saluran-saluran air. Sebab substrat memegang peranan yang sangat penting bagi kelangsungan hutan mangrove. Proses-proses seperti sedimantasi berlebihan, erosi, pengendapan sampai perubahan sifat-sifat kimiawi (seperti kesuburan) harus dapat dihindari.

2. Jaga kelangsungan pola-pola alamiah; skema aktifitas siklus pasang surut serta limpahan air tawar. Untuk struktur pesisir dan pola pengembangan yang berpotensi untuk mengubah pola-pola alami tersebut, harus didesain untuk menjamin bahwa pola tersebut tetap terpelihara.

3.    Peliharalah pola-pola temporal dan spasial alami dari salinitas air permukaan dan air tanah. Pengurangan air tawar akibat perubahan aliran, pengambilan atau pemompaan air tanah seharusnya tidak dilakukan apabila menganggu keseimbangan salinitas di lingkungan pesisir. Salinitas juga mempengaruhi komponen-komponen lainnya dalam wilayah pesisir termasuk manusia.

4.    Peliharalah keseimbangan alamiah antara pertambahan tanah, erosi dan sedimentasi. Kegiatan di wilayah pesisir termasuk konstruksi sangat potesial untuk mengubah keseimbangan antara pertumbuhan dan erosi. Kegiatan seperti itu harus dievaluasi terutama potensi dampaknya terhadap hutan mangrove sebelum diimplementasikan.

5. Tetapkan batas maksimum untuk seluruh hasil penen yang dapat diproduksi. Kecenderungan saat ini adalah memaksimalkan hasil panen untuk mencapai keuntungan jangka pendek tanpa memperhitungkan keuntungan jangka panjang. Plotkan rencana kerja berdasarkan perencanaan yang mantap untuk menjamin keberlanjutan (kesinambungan) ekosistem.

6.      Pada daerah-daerah yang meungkin terkena dampak dari tumpahan minyak dan bahan beracun lainnya, harus memiliki rencana-rencana penanggulangan.

7. Hindarkan semua kegiatan yang mengakibatkan pengurangan (impound) areal mangrove. Penghentian sirkulasi air permukaan mengakibatkan kematian hutan mangrove.
    Ekosistem Padang Lamun
a.      Permasalahan
      Syarat dasar habitat padang lamun adalah perairan yang dangkal, memiliki substarat yang lunak dan perairan yang cerah. Syarat lainnya adalah adanya sirkulasi air yang membawa bahan nutrien dan substrat serta membawa pergi dan sisa-sisa metabolisme. Di beberapa daerah, padang lamun dapat tumbuh, namun tidak dapat berkembang dengan baik karena tidak terlindung pada saat air surut. Karena membutuhkan intensitas cahaya yang cukup tinggi, padang lamun tidak dapat tumbuh di kedalaman lebih dari 20 m, kecuali perairan tersebut sangat jernih dan transparan.


     Permasalahan utama yang mempengaruhi padang lamun di seluruh dunia adalah kerusakan padang lamun akibat kegiatan pengerukan dan penimbunan yang terus meluas dan pencemaran air termasuk pembuangan limbah garam dari kegiatan desalinasi dan fasilitas-fasilitas produksi minyak, pemasukan pencemaran di sekitar fasilitas industri, dan limbah air panas dari pembangkit tenaga listrik. Kehilangan padang lamun ini hanya dicatat oleh nelayan setetmpat, karena tidak seperti mangrove dan terumbu karang komunitas padang lamun tidak nampak nyata.
   Berbagai jenis spesies padang lamun mengalami kerusakan akibat kegiatan reklamasi/penimbunan pantai baik untuk keperluan industri maupun pembangunan pelabuhan. Kegiatan reklamasi untuk keperluan perluasan industri dan pelabuhan telah mengurangi luas areal padang lamun. Hal ini seperti yang terjadi di Teluk Banten dimana telah mengurangi areal padang lamun seluas 25 ha. Hilangnya sebagian padang lamun ini akan mempengaruhi biota yang hidup dan mencari makan di ekosistem tersebut.
b.      Pedoman Pengelolaan
       Padang lamun dan hewan yang berasosiasi dengannya memiliki kemampuan alamiah untuk bertahan hidup dan hidup pada kondisi normal, atau sesuai dengan kondisi ingkungannya yang khas. Pedoman pengelolaan merupakan kebutuhan dasar yang diperlukan untuk mempertahankan kondisi tersebut. Oleh karena, tindakan-tindakan yang dilakukan di wilayah pesisir harus mempertimbangkan dan memasukkan pedoman-pedoman sebagai berikut :

1.   Pengerukan dan penimbunan harusnya dihindari pada lokasi yang didominasi oleh padang lamun. Apabila kegiatan seperti ini dilaksanakan pada areal yang berdekatan dengan lokasi padang lamun, sebaiknya dijaga agar tidak terjadi pengaliran endapan ke dalam lokasi padang lamun. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti memasang penghalang lumpur dan dengan strategi pengerukan yang menjamin adanya mekanisme yang membuat sirkulasi air dan arus pasang surut dapat membawa endapan untuk menjauhi daerah padang lamun.

2.  Usulan pembangunan di wilayah pesisir (seperti pelabuhan, dermaga/jetty) yang mengubah pola sirkulasi air seharusnya didesain untuk menghindari atau meminimalkan setiap erosi atau penumpukkan di setiap erosi atau penumpukkan di sekitar daerah padang lamun. Struktur desain yang nyata seharusnya didasarkan pada keadaan lokal yang spesifik.

3.   Prosedur pembuangan limbah cair seharusnya diperbaharui dan dimodifikasi sesuai kebutuhan untuk mencegah limbah yang merusak masuk ke dalam daerah padang rumput. Limbah tersebut seperti limbah industri, limbah air panas, limbah garam, air buangan dari kapal, dan limpasan air. Pada umumnya solusi alternatif tersebut diantaranya termasuk pemilihan lokasi pipa pembuangan.

4.  Penangkapan ikan dengan trawl dan kegiatan penangkapan lainnya yang merusak seharusnya dimodifikasi untuk meminimalkan pengaruh buruk terhadap padang lamun selama operasi penangkapan.

5.  Skema-skema pengalihan air yang dapat merubah tingkat salinitas alamiah harus dipertimbangkan akibatnya terhadap komunitas padang lamun dan biota-biota yang berasosiasi dengannya. Pengaturan yang tepat terhadap jadwal pelepasan air dapat menjaga tingkat salinitas dalam kisaran yang diinginkan.

6.   Lakukan tindakan untuk mencegah tumpahan minyak mencemari komunitas padang lamun. Hal ini dapat dicapai dengan melakukan pengukuran, program monitoring dan rencana untuk menanggulangi kemungkinan terjadinya tumpahan minyak.

7.      Inventarisasi, identifikasi dan pemetaan sumberdaya padang lamun, sebelum berbagai jenis proyek dan aktifitas dilakukan di lokasi tersebut.

8.     Rekonstruksi padang lamun di perairan dekat tempat yang sebelumnya ada di padang lamun, atau membangun padang lamun baru dilokasi yang tidak ada lamunnya untuk mengganti lamun alami di suatu tempat.

Ekosistem Estuaria
a. Permasalahan
           Tingginya tingkat pemanfaatan di daerah estuaria menimbulkan berbagai dampak lingkungan seperti hilangnya sumberdaya estuaria. Pengembangan sumberdaya estuaria yang dilakukan secara tidak terencana telah mengakibatkan berbagai dampak baik yang berlangsung dalam waktu yang singkat maupun dalam jangka lama, seperti kerugian ekonomi (Opportinity Cost).
Salah satu penyebab utama terjadinya degradasi ekosistem estuaria adalah akibat penggunaannya sebagai daerah pembuangan limbah secara terus menerus. Disamping terjadinya kematian ikan secara tiba-tiba dan berbagai efek dramatis lainnya, pencemaran juga menyebabkan degradasi yang terus menerus  yang kemudian diikuti oleh hilangnya ikan dan kerang-kerangan atau menurunnya daya dukung dari ekosistem (carrying capacity). Sebagai bahan pencemar tersebut adalah bahan-bahan kimia dan organik. Zat-zat ini menyebabkan lingkungan menjadi tidak bersahabat, sehingga ikan-ikan berpindah dan menghambat reproduksi kerang-kerangan atau dengan kata lain memutuskan mata rantai makanan.

            Meningkatnya penggunaan perairan sebagai sarana pengangkutan minyak, bahan-bahan kimia dan berbagai bahan beracun lainnya, baik melalui kapal, bargas jaringan pipa penyaluran, ataupun kereta api menimbulkan ancaman terhadap ekosistem ini. Fenomena ini sangat jelas terlihat pada estuaria dan laguna yang mempunyai arus lemah/lambat.
Masalah utama lainnya yang dapat meningkatkan ancaman terhadap kelestarian ekosistem ini adalah berkurangnya dan atau terjadinya pembelokkan aliran sungai di hulu. Ketika terjadi perubahan beberapa daerah aliran sunga (DAS) perairan pesisir, pola arus ikut bertambah pula, akibatnya estuaria akan terbebani air tawar. Hal ini tidak saja mengganggu ekosistem, tetapi juga meningkatkan tingkat bahaya banjir. Daerah estuaria yang paling tertutup (terutama laguna) memerlukan perlindungan yang maksimal, berupa adanya daerah penyangga di bagian hulu; pengendalian aliran limbah dan saluran drainase; penanggulangan longsor, dan biosida dari daratan; pembatasan lokasi industri dan lain sebagainya.
        Selain itu, kebanyakan organisme estuaria merupakan organisme yang rentan. Hal ini disebabkan organisme estuaria banyak yang hidup di dekat batas-batas toleransinya. Sehingga apabila terjadi perubahan faktor-faktor lingkungan di perairan estuaria seperti suhu, salinitas dan oksigen akan sangat mengganggu organisme tersebut.
            Di beberapa daerah kondisi estuaria sudah sangat mengkhawatirkan, terutama pada daerah-daerah industri, perkotaan atau padat penduduk hal ini berarti telah mengancam  keberlanjutan ekosistem estuaria dalam menopang kehidupan manusia dan pembangunan. Beberapa kerusakan ekosistem estuaria tersebut adalah terjadinya sedimentasi yang berlebihan, perubahan pola aliran dan regim salinitas, pencemaran ataupun over ekploitasi sumberdaya alam.

b. Pedoman Pengelolaan
       Ekosistem estuaria memiliki kemampuan pemeliharaan dan pemulihan secara alami yang luar biasa (misalnya setelah mengalami gangguan), bila karakter dasar habitat yang menyokong formasi ekosistem tersebut terpelihara. Namun demikian, ekosistem estuaria dihadapkan pada kondisi yang cukup riskan oleh faktor-faktor yang secara permanen mempengaruhinya seperti salinitas, suhu dan siklus nutrien.konservasi terhadap ekosistem tersebut dan sumberdaya yang ada di dalamnya dapat dicapai dengan mencegah terjadinya perubahan-perubahan yang mencolok pada faktor-faktor yang telah disebutkan. Hal yang terpenting untuk diketahui adalah adanya kekuatan lain di luar ekosistem estuaria yang dapat mempengaruhi faktor-faktor tersebut seperti kegiatan-kegiatan pertanian di lahan atas dan perubahan aliran sungai (DAS). Karena itu, konservasi terhadap ekosistem estuaria dan pemanfaatannya sangat tergantung pada perencanaan dan pengeloaan secara terpadu yang mencakup daerah hulu. Berdasarkan pemikiran di atas, pedoman berikut dapat dijadikan syarat minimal dalam pemeliharaan dan kelangsungan laguna dan ekosistem estuaria dan pemanfaatan tingkat tinggi adalah :
1. Penerapan teknologi secara maksimal dari pengolahan limbah baik untuk limbah industri maupun limbah industri yang dibuang ke dalam laguna dan perairan estuaria. Bentuk geografis dari laguna dan estuaria menyebabkan sirkulasi air yang terbatas sehingga mudah tercemari oleh limbah industri. Melalui penerapan teknologi, hampir semua jenis limbah domestik maupun industri dapat diolah secara efektif. Oleh karena itu, tidak dibenarkan adanya kendala teknik yang membolehkan ketiadaan pengolah limbah tersebut. Alternatif pemecahann lainnya, yaitu limbah sesekali dipompa ke perairan lepas pantai dan disebarkan secara aman ke perairan samudera yang lebih dalam. Kedua cara tersebut sangat mahal dan karenanya membutuhkan pengorbanan yang cukup besar, tetapi hampir pada semua kasus, biaya yang dibutuhkan dapat dibenarkan dalam perhitungan jangka panjang.
2. Fasilitas industri yang berpotensi tinggi mengganggu ekosistem estuaria dan laguna, mestinya dijauhkan dari daerah tersebut. Industri-industri dengan keluaran limbah cukup tinggi seperti pembangkit linstrik (power plant) yang membutuhkan air sangat banyak dari estuaria, industri kimia yang mempunyai limbah toksik berbahaya dan pangkalan minyak seharusnya tidak berlokasi di estuaria yang lebih sempit dan memiliki sirkulasi air yang kurang baik. Bila tidak ada alternatif lain dan jika tetap didirikan di daerah estuaria, industri-industri tersebut akan membutuhkan fasilitas pengolahan limbah yang ekstensif.
 3. Dibutuhkan pemeriksaan terhadap limpasan air akibat hujan lebat dan sumber-simber polusi lainnya. Hujan lebat terkadang lebih bersifat polutan daripada limbah selama 25 mm pertama setiap hujan turun. Sumber-sumber polusi tersebar yang mempengaruhi laguna dan estuaria adalah septik tank, tempat pembuangan sampah rumah  tangga, dan tempat pembuangan sampah dan minyak dari kapal. Sumber-sumber tersebut mungkin menyebabkan eutrofikasi yang serius dimana polutan terkonsentrasi di badan perairan estuaria yang sifatnya tertutup pengendapan, pengolahan atau pemompaan ke perairan lepas merupakan alternatif pemecahan yang mungkin dilakukan.
4. Menghindari terhambatnya sirkulasi air. Bangunan yang didirikan di laguna dan estuaria seperti dermaga, dok, konstruksi jembatan harus didesain sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu aliran air. Sedangkan pemecahannya adalah menghindarkan lokasi bangunan pada titik kritis di daerah estuaria dimana aliran arus yang terpenting dapat dipengaruhi, atau bila bangunan tetap didirikan di lokasi estuaria, bangunan tersebut harus diangkat pada pilar atau tidak dibangun pada tempat yang dipadatkan.
5. Berhati-hati dalam penggalian atau pembuangan hasil pengerukan. Seleksi lokasi untuk pembuangan atau penyimpanan hasil kerukan untuk menghindari efek negarif di daerah habitat penting seperti padang lamun, terumbu karang, habitat bivalva dan habitat dasar yang produktif. Waktu dan penggalian harus dikontrol untuk mengurangi tersebarnya bahan galian ke dalam daerah produktif.


Sumber : Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu, Rokhmin Dahuri dkk, Pradnya Paramita, Jakarta 1996

Tidak ada komentar:

Posting Komentar