Minggu, 04 November 2018

Pancasila Rumah kita




Beberapa waktu lalu kita dihebohkan oleh kejadian kerusuhan yang terjadi di MAKO BRIMOB, Kelapa Dua, Jakarta. Kejadian yang kembali menyentak kesadaran kita bahwa sel-sel tidur para teroris masih menjadi bom waktu di negeri ini yang jika kita biarkan akan meluluhlantakkan kehidupan kebangsaan kita yang telah berpuluh-puluh tahun kita rawat di bumi nusantara ini.
Perilaku ekstrimisme seakan tak pernah mati di negeri ini semenjak mulai kembali menampakkan eksistensinya di awal tahun 2000-an hingga kini. Mulai dari kasus Bom Gereja, Bom Bali, Bom Marriot dan berbagai rentetan kasus kekerasan atas nama agama yang terus mengganggu nurani kita. Apalagi dalam keberagaman agama ras dan suku serta budaya di Indonesia, tentu hal ini adalah ancaman yang sangat serius.
Kita sudah tidak bisa acuh lagi terhadap hal ini dan membiarkan aparat keamanan saja yang berjibaku menghalau aksi-aksi mereka lalu kita tetap membuka diri dengan mereka dan membiarkan ideologi mereka tumbuh dan menggerogoti masyarakat kita sedikit demi sedikit, bagaikan tumor ganas yang menjalar perlahan ke sekujur tubuh lalu kita diamkan, akhirnya setelah sadar semuanya sudah terlambat, hanya pasrah pada kematianlah yang bisa kita terima.
Aksi kekerasan tentu harus kita telusuri apa motif yang melatarinya? Apakah motif ekonomi? Politik ataukah motif agama yang melatarinya. Jika sudah ditemukan maka tugas kita adalah melakukan langkah preventif, persuasif dan edukatif. Agar sumber masalah radikalisme-terorisme ini segera teratasi dan kita kembali melanjutkan cita-cita bapak pendiri bangsa kita membangun negara yang sentosa, adil dan makmur dengan dilandasi nilai-nilai kemanusiaan.
Berdasarkan penelusuran saya dalam beberapa sumber, sejatinya gerakan radikalisme dan terorisme di Indonesia diawali oleh tumbuhnya ideologi dalam sebuah mazhab keagamaan yang dimulai sejak masa pasca kemerdekaan dengan lahirnya DI/TII dan Negara Islam Indonesia (NII) di awal tahun 50-an. Meskipun hingga tahun 60-an para pemimpin gerakan ini berhasil ditangkap dan dibunuh oleh pemerintahan saat itu, namun ideologinya belum hilang dan terus dikembangkan sehingga muncul kembali di tahun 70 dan 80-an.
Setelah reformasi, gerakan radikalisme mendapatkan angin segar dengan terbukanya keran demokrasi seluas-luasnya sehingga masing-masing orang dan kelompok bebas berkumpul dan berpendapat, begitupun gerakan radikalisme di Indonesia. Terhitung sejak tahun 2000 hingga tahun 2016 kasus peledakan bom oleh jaringan terorisme sudah terjadi sebanyak 15 kali .Sampai hari ini kita masih dihebohkan dengan kasus penyanderaan dan pembunuhan di MAKO BRIMOB Kelapa Dua yang dilakukan oleh para napi teroris pada Selasa/08/05/2018.
Pertanyaan yang patut kita ajukan, dimana letak kesalahan kita sehingga kasus terorisme ini tak kunjung teratasi?
Jika kita sedari awal bertumpu pada prinsip bahwa gerakan pemikiran dilawan dengan gerakan pemikiran dan gerakan fisik dilawan dengan gerakan fisik maka masalah ini (radikalisme-red) harusnya tidak berlarut-larut. Kita selama ini seakan berusaha mendinginkan air mendidih di dalam sebuah belanga yang sedang terpanggang di atas api dengan cara mencampurkan air dingin ke dalam air di dalam belanga itu. Padahal, meskipun suhu air di dalam belanga akan berubah menjadi dingin, namun lama kelamaan suhu air akan kembali meningkat karena api sebagai faktor utama adanya suhu panas belum dipadamkan.
Pertanyaannya kemudian, di manakah letak api yang terus membakar seseorang untuk melakukan tindakan radikalisme? Jawabannya adalah di dalam pikiran mereka!, Ideologi mereka!. Meskipun seorang pelaku terorisme dan penganut radikalisme telah ditangkap, tapi selama api ideologi di dalam kepala mereka belum kita padamkan maka tindakan kekerasan atas nama agama akan kembali terulang dan terus memakan korban.
Ideologi Wahabisme yang menganggap orang lain yang berbeda dengan mereka sebagai kafir dan halal darahnya itulah yang harus kita lawan. Dilawan dengan apa? lebih arif adalah dengan gerakan pemikiran. Tunjukkan letak kesalahan berpikir mereka, tunjukkan bahwa orang tidak bisa memaksakan apa yang dia anggap benar kepada orang lain karena setiap dari kita memiliki kemerdekaan yang diberikan oleh Tuhan YME, Allah SWT kepada setiap umat manusia.
Yang harus kita lakukan adalah memasifkan pendidikan toleransi, Persatuan, pluralisme, humanisme, dan prinsip-prinsip agama yang moderat. Nilai-nilai itu semua sudah ada dalam ajaran pancasila yang selama ini menjadi ideologi bangsa kita. Seperti pernyataan Syaik Al-Azhar Prof. Dr. Ahmad At-Thayyeb saat menerima kunjungan Menteri Kordinator Bidang Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan di Kairo, 26 April 2018.
Selama ini pendidikan kepancasilaan kita cenderung hanya bersifat propaganda dan kampanye. belum menyentuh ke ranah intelektual-filosofis. Kita hanya disuguhkan dengan kalimat bahwa kita harus menghargai perbedaan, namun kita belum sampai mengajarkan dari manakah perbedaan dan mengapa perbedaan itu mesti ada? sehingga kita harus saling mengenal, bertoleransi, bersatu dan membangun peradaban yang manusiawi di atas prinsip keadilan yang berketuhanan.
Kalangan intelektual kita punya semangat mengajarkan pancasila dan itu perlu untuk diapresiasi. Namun, jangan berhenti sampai pada naskah akademik yang serampangan yang tak jelas bangunan epistemologinya apa?, pandangan dunianya bagaimana?, serta harus berperilaku (Aksiologinya) seperti apa?
Maka, sekali lagi peran aparat dan pemerintah saja tidak cukup, semua lapisan masyarakat; kaum intelektual, mahasiswa, LSM, komunitas masyarakat, Partai Politik semuanya harus mau bekerja sama menyingkirkan tumor ganas yang sudah terlanjur menggerogoti tubuh bangsa ini. Mulailah dari lingkungan keluarga, tetangga rumah, teman sekelas, teman sekampus, teman seprofesi hingga menyebar di seantero negeri ini. Polanya harus seperti itu, karena kelompok radikalisme juga memulainya dengan cara seperti itu.
Jangan biarkan mereka menebarkan virus ke dalam tubuh bangsa ini. Kita telah lama hidup rukun berdasarkan doktrin pancasila. Namun sekedar doktrin saja belum cukup, perlu pemahaman yang dalam agar dapat menangkal ancaman ideologi radikal yang tumbuh liar dan massif. Pancasila harus terus menjadi tempat kita berteduh dan berlindung dari ancaman perilaku anti kemanusiaan, untuk itu harus terus diperkuat.
Karena Pancasila adalah rumah kita.
Soekarno : ” Pancasila adalah saripati kebudayaan bangsa Indonesia yang telah tertanam selama ribuan tahun”
Tulisan ini pernah dimuat di website www.humanillumination.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar