Senin, 05 November 2018

Modernisme Cartesian dan Kerusakan Lingkungan

Konsep Ekologi yang Rapuh
Persoalan pengelolaan lingkungan adalah suatu persoalan yang sama tuanya dengan usia manusia di muka bumi. Pengelolaan lingkungan adalah persoalan yang memposisikan manusia dalam dua kepentingan yang berbeda. Pertama,  bagaimana manusia mengambil sesuatu yang dibutuhkan dari alam untuk digunakan memuhi kebutuhan individual dan sosialnya. Kedua, bagaimana menjaga agar apa yang dilakukan terhadap alam tidak memberikan dampak pada terganggunya keseimbangan alam yang akan berakibat pada terancamnya keberadaan entitas-entitas yang ada di dalamnya, termasuk manusia itu sendiri.
Ernst Haekel adalah orang yang mendefinisikan ekologi sebagai “Ilmu tentang relasi di antara organisme dan dunia luar sekitarnya”. Namun harus kami sampaikan di sini bahwa pembahasan mengenai ekologi yang coba kami paparkan pada tulisan ini adalah kajian lingkungan yang bukan menitikberatkan pada aspek teknis-praktis pengelolaan lingkungan, namun kami merasa lebih tertarik pada tinjauan dari akar-akar filosofis paradigma mengenai lingkungan yang menjadi dasar pengelolaan lingkungan. Kami percaya bahwa aspek praktis selalu ditentukan oleh aspek teoritis (filosofis) yang menjadi landasannya. Aspek praktis adalah persepsi tentang bagaimana memperlakukan sesuatu sebagaimana mestinya yang tentu saja didahului oleh persepsi teoritis tentang bagaimana realitas sebagaimana adanya.
Lingkungan hidup sebagai tempat di mana manusia hidup kini telah barada pada kondisi yang mengkhawatirkan dan berdampak terhadap terancamnya kehidupan manusia maupun makhluk lainnya sebagai akibat dari kesalahan manusia baik disengaja ataupun tidak. Dikutip dari BBC Indonesia, Badan Kesehatan Dunia menyatakan 80% penduduk dunia terpapar polusi udara (BBC Indonesia, Maret 2017). Tingginya laju penebangan hutan dan lahan atas juga sering menyebabkan banjir yang menelan cukup banyak korban jiwa.

Sumber : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBIy87nz5efzbD_WKFBl552_r_400TM3bivxxDNMg-g-QpXluuzVPUhXLFB_cWa8GgN24L9IhpQhHWUp_CtOKELSz32QqiZ9ODL1AAWxztWnmpHPNhQeJSl1POfCL_34hDAHCJ2mmz7VM/s320/29213_449379919026_271484204026_6024158_6289070_n.jpg 
Aksi penebangan hutan secara massif

Di wilayah pantai, material tanah  di dataran tinggi terbawa banjir hingga ke laut sehingga menyebabkan meningkatnya sedimenetasi yang berakibat pada tertutupnya terumbu karang dan biota dasar laut yang berdampak pada terganggunya ekosistem di wilayah laut dan pesisir.  Selain itu tingginya kebutuhan pembangunan di wilayah pesisir menyebabkan aktifitas reklamasi pantai terus meningkat sehingga pada giliranya mengakibatkan terjadinya banjir rob yang merusak pemukiman warga.

Di sisi lain, konservasi sebagai model rehabilitasi lingkungan  hidup yang bersifat konvensional  sejauh ini terlihat hanya bermotif  ekonomi (meminimalisir kerugian ekonomi di masa depan) sementara nilai etis dan religius belum menjadi alasan mendasar pengelolaan lingkungan. Konservasi lingkungan sebagai upaya untuk merehabilitasi kerusakan lingkungan hanyalah tambal sulam yang tidak memberikan solusi berkelanjutan terhadap persoalan pananggulangan kerusakan lingkungan secara menyeluruh. Konsep konservasi seakan hanya menyelesaikan masalah pada tingkatan hilir atau pada tataran tindakan, sedangkan pada tingkatan hulu yakni paradigma sains modern bercorak Cartesian-Newtonian yang atomistic dan reduksionistik sampai hari ini masih menjadi candu bagi kehidupan masyarakat modern utamanya masyarakat Barat dan juga sebagian masyarakat timur yang terpengaruh olehnya.

Penolakan Terhadap Paradigma Cartesian
Akibat dari paradigma sains modern yang atomistic-reduksionistik ini kehidupan industrialis-kapitalis seakan mendapatkan perlindungan intelektual (Intellectual protection) dalam tindakan ekspolitasi besar-besaran terhadap sumberdaya alam dikarenakan paradigma sains modern yang terlanjur ‘mendiktekan’ kesimpulannya bahwa alam hanyalah entitas-entitas mekanistik yang tak bernilai sehingga bebas untuk ‘diperbudak’ demi kepentingan kesejahteraan masyarakat industrial. Akibatnya, terjadi peningkatan kerusakan lingkungan yang turut menjadi ancaman bagi kehidupan manusia di muka bumi.
Semangat pemberontakan terhadap agama yang dihembuskan oleh gerakan renaissance pada abad ke 15 yang diawali oleh ‘Hentakan Pemikiran’ Descartes bukan hanya berupaya melawan dominasi agama yang saat itu dianggap telah merampas kemerdekaan berpikir manusia, namun lebih jauh berusaha untuk menjauhkan agama dan Tuhan dari kehidupan umat manusia. Periode yang dianggap sebagai masa pencerahan dianggap ‘berhasil’ mencapai tujuannya yang paling penting-minimal bagi kaum intelektual Barat saat itu-yakni mengambil alih panggung intelektual dari cengkraman lembaga agama.
Thomas S. Kuhn mencoba untuk menunjukkan gugatannya terhadap kemapanan paradigma sains modern dengan mengajak kaum intelektual untuk melakukan revolusi paradigmatik melalui bukunya The Structure of Scientific Revolution.  Selain Thomas S. Kuhn, watak dasar sains modern yang telah menjadi doktrin dalam proses pengelolaan lingkungan digugat banyak ilmuan antara lain Ashley Montagu, Gregory Bateson, Fritjof Capra, Morris Berman, Douglas C. Bowman, Stephen Toulmin dan Sayyed Hosein Nashr. Paradigma sains modern dianggap masih didominasi oleh cirinya yang dualistik, atomistik bahkan mekanistik.

Oase dari Timur
Sementara masyarakat Timur dengan paradigma religius-mistisnya telah lama terabaikan dari panggung modernisme. Ajaran-ajaran luhur yang telah lama menjadi nafas kehidupan tidak berhasil dimengerti oleh kaum intelektual barat sebagai oase di tengah tandusnya kehidupan masyarakat modern. Realitas sejarah peradaban pemikiran masyarakat Timur menunjukkan bahwa cukup banyak gagasan-gagasan pemikiran dari Timur yang sangat ramah terhadap alam, bahkan menghormatinya. Hal ini dapat kita temukan pada karya-karya para kaum intelektual, filusuf, bahkan Sufi dari timur seperti Muhammad Iqbal, Sayyid Husein Nashr,  Mulla Shadra, Ibnu Sina, Suhrawardi, Ibnu Arabi, dll.
Jika pada peradaban masyarakat barat telah lama cenderung hidup dalam kungkungan paradigma sains modern yang dualistik-reduksionistik atau melihat segala realitas (materi dan non materi, jiwa dan jasad) secara terpisah antara satu dengan lainnya sehingga antara satu sisi dengan sisi lainnya tidak saling mempengaruhi maka berbeda halnya dengan yang menjadi paradigma masyarakat Timur. Peradaban masyarakat Timur cenderung melihat segala realitas dalam kacamata Tauhid, Tao atau Zen yang melihat bahwa realitas pada hakikatnya satu, tidak ada pemilahan. Perbedaan itu terjadi pada realitas akibat adanya perbedaan kualitas, namun antara satu sisi dengan sisi lainnya sesungguhnya tidak terpisah dan juga saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Manusia tidak terpisah dengan alam, pun demikian manusia tidak terpisah dengan Tuhan sehingga segala gerak dari satu entitas di muka bumi ini akan turut mempengaruhi entitas lain. Untuk itulah maka alam perlu dikelola dengan baik berdasarkan etika ilahiah agar tidak merusak keseimbangan ekologi yang akan berlanjut pada terganggunya kehidupan umat manusia.
Sumber :
  1. Dr. Ach. Maimun, M.Ag. "Seyyed Hossein Nasr; Pergulatan Sains dan Spiritualitas Menuju Paradigma Cosmologi Alternatif". Dr. Ach. Maimun, M.Ag.IRCiSoD, Yogyakarta, 2015.
  2. Thomas S Kuhn. The Structure of Scientific Revolutions; Peran Paradigma dalam Revolusi Sains.
  3. http://www.bbc.com/indonesia/majalah-39176908

Tidak ada komentar:

Posting Komentar