Senin, 07 Maret 2016

GENERASI SAKIT-SAKITAN JILID II

Sore itu matahari sepertinya sudah tak tahan tuk kembali ke peraduannya, langit menyembulkan rona merahnya, bagaikan sesosok wanita yang tersipu malu oleh tatapan pria yang baru dikenalnya.
seorang lelaki paruh baya masih berpacu dengan waktu, menyusuri setiap sudut tanah dengan ditemani dua ekor sapi yang membantunya membajak satu-satunya ladang sawah warisan orang tua. sepertinya ia tak memperdulikan deru mesin pabrik yang berdiri sombong tak jauh dari sungai yang membatasi desanya dan sebuah pusat perbelanjaan moderen di sebelahnya. Pak Arya adalah paman Anwar yang hidupnya sangat sederhana. satu petak sawah yang terletak di pinggiran desa sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bersama isteri dan seorang anaknya. ia tampak cekatan memberikan komando kepada dua ekor gembalaan yang setia membantunya mengolah tanah agar siap ditanami keesokan harinya.
Tiba-tiba nampak dari kejauhan seorang pemuda berjalan di sela-sela rerumputan yang tumbuh menghijau nan lebat. tubuhnya yang lemah dan langkahnya yang lambat tak berhasil membunuh semangatnya tuk bertemu dengan paman yang sangat dirindukannya. Rupanya Anwar baru saja datang dari kota, ia tak mampu membendung keinginannya tuk menengok adik bungsu ibunya yang sudah setengah abad hidup dipinggiran kota sebagai petani sawah.
"Hai nak kapan kamu datang..?" langsung saja pak Arya menyambutnya dengan senyuman.
"Aku baru saja tiba. sesampainya aku di rumah, bibi memintaku untuk memanggil paman pulang, sudah hampir malam katanya..!!!" Anwar berusaha menjelaskan alasannya langsung menemui pamannya di sawah.
Pak Arya pun segera menyudahi pekerjaannya dan segera menyambut putra kakaknya yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri itu. mereka kemudian menyempatkan diri bercengkrama di tepian sawah sambil mengistirahatkan otot-otot yang sudah sangat lelah menggerakkan tubuh kesana-kemari.
"Bagaimana keadaanmu nak...? tanya pak Arya kepada Anwar setelah sebelumnya keduanya berpelukkan sejenak untuk melepaskan rindu.
"Alhamdulillah pak, aku masih merasa baik-baik saja walaupun badanku masih lemah" jawab Anwar singkat.
"Baguslah, banyak istirahat nak. Silahkan duduk sebentar, paman sudah lama ingin ngobrol-ngobrol denganmu" pinta pak Arya.
Anwar yang masih menyimpan rasa penasaran terhadap bangunan besar yang baru dibangun di dekat desa pamannya pun segera menanyakannya pada pak Arya " bangunan apa itu pak...? tanya Anwar sambil menunjuk ke arah bangunan tersebut.
Pak Arya sudah bisa menduga keponakannya itu pasti baru melihat bangunan itu. sambil melepaskan topi jerami yang menutupi kepalanya ia pun menjawab " itu bangunan baru, pusat perbelanjaan" jawab pak Arya sambil menoleh ke Anwar.
"Oh pantesan aku baru lihat, tapi kok saya lihat tadi sungai di sekitar mall itu airnya mulai menguning ya Pak?" tanya Anwar keheranan.
Pak Arya yang masih dilumuri keringat tampak mengibas-ngibaskan topi ke arah badannya sejenak kemudian berusaha memberikan penjelasan.
"Air itu menguning karena limbah yang di buang oleh pabrik disebelahnya itu. limbahnya tidak diolah dulu sebelum di buang ke kali, banyak ikan-ikan yang mati keracunan." pak Arya kemudian melanjutkan " Mereka itu sudah terbalik tujuan hidupnya..!".
seketika kening Anwar nampak Menukik ke atas. " kok terbalik pak...? memangnya kenapa..? Anwar langsung mengejar dengan pertanyaannya.
Sambil tersenyum Pak Arya Menjawab " Kita ini kan diamanahkan untuk mengelola bumi beserta isinya, kita harus memanfaatkan Ilmu dan teknologi untuk kebaikan, bukan kerusakan" Pak Arya berusaha menjelaskan.
Anwar berusaha menyerap dan memahami kata-kata pamannya. sejenak suasana menjadi hening karena keduanya terdiam dalam pelukkan senja yang sudah hampir menghilang.
tiba-tiba Pak Arya melanjutkan, kali ini wajahnya tampak lebih serius " hidup mereka begitu rumit, selalu dihantui oleh keinginan-keinginan yang tak ada habisnya, mereka sudah tak mampu menguasai keputusannya. dikendalikan oleh mesin pencetak uang yang mereka cipta sendiri". Anwar langsung menyela " Mesin uang..?. Iya...!!! mall dan pabrik itu adalah mesin uang yang mereka ciptakan tapi kemudian tanpa mereka sadar mereka dikendalikan oleh apa yang mereka buat sendiri" jawab pak Arya mantap. setelah itu pak Arya menunjuk kedua sapinya " Nak lihat sapi milik bapak itu, aku pelihara sapi-sapi itu dari kecil sampai sudah besar begini, sekarang aku bisa mengendalikan mereka. aku bisa memerintahkan mereka kapanpun aku mau. aku lebih merdeka..!!! sedangkan mereka, waktunya sebagian besar mereka habiskan untuk mesin-mesin uang mereka, mereka tak bisa mengelak dari kondisi itu" kemudian Pak Arya menatap mata keponakannya yang sedari tadi terlihat begitu keheranan. namun tak lama kepala Anwar terlihat mengangguk-angguk seperti ada sesuatu yang baru ia sadari.
"Kini aku mengerti kenapa engkau bangga menjadi petani" sergah Anwar.
tanpa menunggu komentar dari pak Arya, Anwar menimpali " Rupanya paman merasa menjadi orang paling merdeka, makanya paman betah menekuninya". "ha..ha..ha..ha..kamu ini bisa aja, sudah ayo kita pulang. hari sudah mulai gelap" nanti bibi kamu khawatir lagi " Pak Arya berusaha menutup pembicaraan yang mengalir penuh kehangatan namun bermakna itu.
keduanya kemudian berjalan menyusuri jalan sempit diantara sawah-sawah menuju rumah Pak Arya. Anwar berusaha membantu pamannya membawakan berbagai perkakas yang dimiliki Pak Arya.
Semoga cerita di atas bisa memberikan kita sedikit kesadaran cara terbaik kita untuk hidup itu bukan mengenai seberapa mewah lingkungan yang kita tempati tapi seberapa banyak kita bisa tetap menjalankan tugas kita sebagai manusia di muka bumi
Makassar, 3-3-2016
~.Abdul A. Siolimbona.~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar